Oleh : Husna Zhafirah

 

Lebaran selalu menjadi bagian yang paling ditunggu-tunggu oleh semua umat muslim diseluruh dunia, karena lebaran adalah hari kemenangan, hari kembalinya diri pada kesucian fitrah, hari dimana orang-orang saling meminta dan membuka lebar-lebar pintu maaf. Lebaran juga menjadi waktu bagi para perantau untuk berpulang. Menjadi waktu bagi para pekerja dan pencari ilmu untuk rehat dan menyambung silaturahmi dengan sanak saudara juga tetangga, menjadi waktu bagi perindu untuk bertemu, mendekatkan yang jauh dan menyambung yang hampir putus, merekatkan yang sudah renggang. Ya, setidaknya itu lebaran dalam pandanganku. Tapi itu lebaran dulu, sebelum adanya pandemi covid-19. Setelah adanya pandemi covid-19 sejak dua tahun lalu, keadaan mengarahkanku pada arah pandang baru. kebudayaan lebaran yang sudah setiap tahunnya dijalankan harus berubah pada pola baru. kemana-mana harus memakai masker, membawa dan memakai hand sanitizer, antara orang harus saling menjaga jarak, para pemudik harus tetap dirumah saja, para perantau dilarang pulang, para penimba ilmu di pesantren diperbolehkan pulang dengan tes kesehatan ketat, bahkan masjid yang biasa penuh oleh jamaah kini tidak lagi. Jalanan yang biasa penuh oleh lalu lalang kendaraan yang silih berganti mendatangi rumah sanak keluarga, silaturahmi antar tetangga, kini sepi dengan pintu yang rapat ditutup. Beli banyak jajanan hari raya pun pada akhirnya harus dimakan sendiri, dihabiskan sendiri.

Lebaran banyak dihabiskan melalui virtual, seperti melalui via telepon, Video Call Whatsapp, Chat Whatsapp, melalui ucapan-ucapan yang dipajang di story, potret-potret kebersamaan lebaran-lebaran lalu sembari bernostalgia dan masih banyak lagi di media sosial lainnya. Mungkin kebanyakan orang sudah mulai terbiasa dengan kebudayaan lebaran baru ini, tapi aku belum. Aku hanya bisa menangis diam-diam, aku takut sendiri, jika nanti virus ini telah hilang dan orang-orang sudah nyaman dengan kebudayaan lebaran baru ini, kebudayaan lama yang begitu kubangga-banggakan setiap saat akan hilang begitu saja, hanya menyisakan kenangan. itupun kalau masih tersimpan rapi di dalam kepala dan belum bertumpang tindih dengan cerita lainnya. 

Selain Lebarannya, hal yang selalu menjadi candu kedua adalah hari-hari dalam bulan suci Ramadhannya. Sangat banyak yang bisa diingat dan diceritakan. Apalagi saat melalui ramadhan di pondok pesantren. Cerita mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi. Ramadhan di pesantren memang sangat berbeda dengan kegiatan sehari-harinya di lain bulan ramadhan. Saat bangun tidur, yang biasanya hanya dibangunkan dengan bell, ramadhan ditambah dengan menggunakan hanger besi atau gayung yang dipukul-pukulkan di pintu kamar-kamar. dari ujung lorong kamar ke lorong lainnya pun nyaring terdengar. Semua santri pasti terbangun oleh suaranya. 

Dengan ngantuk-ngantuk aku yang saat itu menjadi ketua kamar, berangkat mengambilkan makanan untuk diriku sendiri dan anak kamar. makannya pakai lengser. Duh nikmat sekali. Setelah ambil makan aku biasanya mencuci muka dulu, biar nggak ngantuk lagi. Setelah itu membangunkan semua anak kamar, termasuk yang udzur biar ikut makan bersama. Karena kalau ramadhan jatah makan hanya dapat saat sahur dan berbuka saja. Setelah makan, aku mandi, antri dari jam tiga waktu sahur, baru dapat mandi mepet-mepet subuh, sehingga mandinya bisa dibilang mandi bebek. Ya nggak papa yang penting seger dan nggak ngantuk, karena habis subuh akan ada pengajian kitab. Oh iya lupa, pengajian kitab saat di pesantren hari-hari biasa dengan ramadhan pun berbeda, kalau hari-hari biasa biasanya ngajinya kitab tebal-tebal, seperti kitab Riyadhus Shalihin, Tafsir Al Qur’anul Karim, Tanbihul Ghofilin, Mukhtarul Ahadits an-Nabawiyah, mauidhotul mukminin dan lain-lain. sedangkan kitab-kitab yang dikaji saat ramadhan biasanya berupa syarah dan bisa diselesaikan kurang dari 20 hari. Seperti syarah kitab Sullamun Munajah, syarah Fathul Qorib, syarah Fathul Majid, syarah Fathul Mu’in, kitab Ayyuhal Walad, Sirah Nabi wa Adabuhu, Qotrul Ghoits, Ta’lim muta’alim  , Mukhtashor Jiddan dll. 

Hal yang paling ditunggu santri saat ramadhan adalah waktu sambangnya. Biasanya ibu dan ayah selalu membawakan masakan-masakan yang enak-enak dan awet. Dan yang pastinya banyak. Masakan untuk ku makan sendiri dan diberikan pada teman-teman. Biasanya ada abon sapi, serundeng, kering tempe, rendang, dan kesukaanku cumi-cumi. Saat berbuka puasa, aku selalu dapat bagian membuatkan es marimas di mix dengan marjan, yang diletakkan dalam timba. Airnya menggunakan air kran depan kamar nomor lima. Kenapa nomor lima?  Karena kran nomor lima adalah kran khusus dan sudah diberikan doa-doa oleh abah yai dan memang boleh untuk diminum. Biar penghematan juga sih sebenarnya. 

Setelah makan langsung dibersihkan karena digunakan untuk sholat isya’ dan tarawih. Alhamdulillah kalau urusan tempat sholat, aku selalu istiqomah. berada dalam mushola pesantren, bagian belakang sendiri, deket tembok, biar kalau sewaktu-waktu ngantuk ada tempat bersandarnya. Hehe, tapi aku bukan paling belakang sendiri, di depan musholla yang bersambung dengan lorong-lorong kompleks kamar, masih banyak santri jamaah disana. Biasanya, tempat dimana kamu sholat maghrib adalah tepat sholat tarawih juga. Karena ada sistem job-job an. Jadi saat menjelang adzan maghrib, sudah banyak santri yang ke musholla untuk menggelar sajadahnya, ada juga yang meng job kan tempat untuk sekamar. Sampai berjajar-jajar. Setelah tarawih bell berbunyi tanda persiapan pengajian kitab malam. Saat pengajian, aku sering memakai jas almamater pondok, karena selain nggak ribet, selain itu  juga banyak sakunya. Bisa buat mengantongi uang dan permen. Karena kalau ngaji malam biasanya keluar pondok pesantren putri, karena ngajinya di musholla pondok putra. Diluar pesantren putri, kalau malam banyak penjual di depan pondok. dan aku selalu langganan kalau membeli pentolnya. Waktu berangkat diniyah pesannya, ngambilnya waktu pulang, bapaknya selalu menunggu meskipun kadang ngajinya bubar jam 10 malam kurang sedikit. Setiap selesai jadwal ngaji di luar pesantren putri, aku dan teman-teman selalu mampir ke pesarean romo kyai. Romo kyai ini adalah ayah dari abah yai. Pendiri pesantren. Karena lokasi pesantren masih di kawasan pesantren putri, jadi kami leluasa disana. Setelah membaca tahlil, dan yasin, kami bercengkrama dan curhat. Memang tempatnya sangat nyaman untuk tempat berlama-lama. Disana juga biasanya aku menghabiskan pentol untuk dimakan bersama teman-teman. 

Kami pulang dari pesantren biasanya pada malam nuzulul Qur’an, setelah malam ke-17 ramadhan. Pagi-pagi sekali, ayah sudah berada di luar pesantren. Mengambil buku pulangku yang ada di pengurus keamanan, sembari menunggu sowan abah yai. Selalu ada nasihat-nasihat abah kyai untuk santri-santrinya. Yang paling aku ingat dan sukai adalah “gapailah cita-citamu setinggi bintang tsuraya”  bintang tsuraya adalah rasi bintang tertinggi, jadi aku memaknai bahwa kita harus mempunyai cita-cita yang sangat tinggi. Ada juga “Ojo ngudan-udani uyah” uyah yang dalam bahasa indonesia berarti garam. Udan dalam bahasa indonesia yang berarti hujan. Dan ojo dalam bahasa indonesia yang berarti jangan. Kata abah yai garam itu kalau dihujan-hujankan akan habis Cuma tertinggal rasanya saja, bentuknya hilang. Seperti juga ilmu, jika kita riya’, pamer dan merasa paling bisa akan sesuatu, lambat laun semua itu juga akan hilang. Tinggal bekasnya saja. Ada juga nasihat “kalau sudah pulang kerumah, langsung pulang, jangan mampir-mampir apa lagi dolan, apa yang sudah diperoleh dari pondok diamalkan, ngajinya jangan dilupakan, sholat dhuha, sholat tahajud, terawih harus lengkap sampai akhir ramadan, di ingat-ingat beneran” Sebenarnya banyak sekali nasihat-nasihat abah yang sangat apa ya.. istilahnya itu eman untuk dibuang dan dilupakan. Selain nasihat-nasihat banyak juga amalan-amalan di bulan ramadhan yang bisa dilakukan dan diamalkan setelah pulang di rumah. 

Cara abah yai memberi pengajaran untuk santri-santrinya, menurutku memang sangat unik. Baik caranya memberi pengajaran saat showan, saat meminta ijazah, sampai pada takziran. Saat ada santri sowan, abah yai selalu mengajukan 1 pertanyaan, santri disuruh memilih, bahasa arab, bahasa inggris, matematika atau kitab. Jika bisa menjawab maka akan terbebas, jika showan untuk izin maka akan diizinkan, jika tidak bisa, maka ayah tidak mengizinkan, dengan alasan, “jek durung iso opo-opo kok njalok moleh” dimana kalau dibahasa indonesiakan belum bisa apa-apa kok sudah mau minta pulang. saat meminta ijazah pun sama, saat angkatan tertinggi dipesantren meminta ijazah menjelang ujian, abah hanya senyum dan berkata “ mondok kok bondo dungo tok ae, ngunu iku ya diimbangi karo sinau” yang kalau dibahasa indonesiakan mondok kok hanya mengandalkan doa, seperti itu ya harus diimbangi dengan belajar. Dan kalau masalah takziran, abah yai selalu bisa membuat santri jera dan malu untuk melakukan kesalahan lagi. Santri putra ada yang tidak ikut pengajian ramadhan, mereka ternyata tidur di depan kamar mandi yang saat itu gelap. Setelah abah mendapat laporan, santri-santri itu dihukum tidur di bawah truk milik abah yang sedang parkir di samping  jalan. Tempat lalu lalang santri putri saat mau ke pesarean. Sebagian lagi dihukum memeluk truk entah bagaimana caranya. Unik, tapi bisa bikin jera.

Setelah showan, lalu aku pulang. rumah adalah tempat mempertanggungjawabkan rindu. Rindu kamar, rindu orang-orang rumah, rindu lingkungannya, haaah. Selalu saja ada kesempatan pulang. pulang hanya diberi waktu 1 bulan kurang, setelah itu kembali lagi ke pesantren. Ramadhan menjelang akhir, aku disuruh ibu weweh/ ater-ater makanan ke tetangga dan saudara-saudara. Jika ditanya untuk apa, ya hanya untuk syukuran, tapi filosofi sebenarnya dibalik itu aku belum memastikan. Karena weweh atau ater-ater ini sudah melekat di daerah tempat tinggalku dan setiap tahun selalu berjalan. Yang ater-ater adalah orang yang mampu, sedangkan yang mendapat ater-ateran ini adalah seluruh tetangga dan saudara atau bisa juga dipilih untuk kalangan yang kurang mampu saja.

Dua malam terakhir menuju lebaran, aku dan keluarga menimbang zakat fitrah, juga ada nenekku yang membayar fidyah karena sudah tidak kuat berpuasa. Lagu malam terakhir menuju lebaran, aku menghabiskan malam di mushola dekat rumah, menemani ayah yang menjadi amil zakat, untuk menimbang zakat tetangga-tetangga, untuk kemudian disetorkan ke masjid besar untuk dibagikan. Setelah membagi zakat, aku kembali ke mushola untuk takbiran, di jam-jam habis isya’ mushola penuh dengan anak-anak dan kelotek-keloteknya. Aku disana takbiran hanya sampai tengah malam saja, karena takut besoknya ngantuk saat sholat ied dan silaturahmi.

Sholat ied dilaksanakan dengan peraturan sangat ketat untuk menjaga protokol kesehatan, mulai dari keharusan membawa sajadah sendiri, memakai masker yang 3 ply, membawa hand sanitizer, pengukuran suhu badan, tambahan khusus bawaan yaitu kresek, untuk menyimpan sandal agar mudah dan tidak hilang, sampai pada sholat ied Fitri yang sedikit berjarak dari sajadah satu ke yang lain. imam yang juga biasanya dari kyai pesantren-pesantren besar, lebaran kali ini imamnya diambil dari tetangga desa. Seorang ustadz. Surah-surah yang dibaca diambil dari tengah surah di juz 15, dan itu berlangsung sedikit lebih lama. Apalagi aku, ibu dan adik perempuanku saat itu sholat ditempat yang tidak ada atapnya, pas dimana sinar matahari. Sedikit menyengat, tapi itu masih bisa membuatku tidur dengan bersila. Hebat kan? Ilmu yang tidak ada teorinya dalam kitab tapi hampir semua santri bisa melakukannya. 

Setelah selesai sholat ied, aku segera pulang ke rumah dan membuka pintu lebar-lebar. Setelah itu memasuki kamar nenek dan menggendongnya ke kursi roda, mendorongnya ke teras rumah. Meski rumahku tetap open door, aku dan keluarga sangat menjaga protokol kesehatan. Diujung teras, ada tong besar berisi air yang bisa dialirkan dan sabun cuci tangan. Jadi bagi siapa saja yang akan kerumah akan mampir dulu kesini untuk mematuhi protokol yang kubuat. Nenek banyak dikunjungi orang, dari tetangga sampai seluruh keluarga. Nenek yang tinggal dengan ku itu adalah ibunya ibuku. Dan itu adalah satu-satunya “mbah” ku yang masih ada dan sehat. Ayahku dan ibuku dua-duanya adalah anak bungsu di keluarganya, ayah ditinggal bapak dan ibunya meninggal sejak ayah masih kelas enam SD, sedangkan ibuk ditinggal bapaknya saat masih berusia sembilan tahun. Jadi kalau Lebaran, aku dan keluarga biasanya yang mendatangi rumah-rumah tetangga dan sanak keluarga semuanya karena dari yang termuda. Persis setelah sholat ied Fitri, saat keluarga dari ibu sudah berkumpul, kami berangkat bersama ke pesarean kakek. Tahlil di imam i oleh ayahku, dan doa di imami oleh pakdhe. Aku mengunjungi pesarean kakek hanya setahun sekali, hanya saat lebaran saja. Tetapi meskipun begitu, setiap hari masih selalu ku doakan.

Setelah ke pesarean, aku dan keluarga berjalan-jalan mengitari rumah-rumah tetangga, saling meminta dan memberi maaf. Sesekali, saat melihat makanan unik, aku biasanya mengambilnya, hanya untuk mengatasi rasa penasaran. baru setelah itu, adik perempuanku memakannya. Adik lelakiku juga lebih banyak mengambil. Hampir di tiap-tiap rumah, ia mengantongi permen kesukaannya. Setelah dari tetangga selesai, aku dan keluarga berganti ke kendaraan untuk mendatangi rumah dari adik nenek dari ibu, mendatangi rumah kakak-kakak dari ayah, ke rumah guru ngaji waktu kecil, juga ke rumah sepupu-sepupu dari ayah dan ibu. Biasanya lebaran hari pertama juga digunakan untuk sowan ke abah yai di pondok pesantren dengan keluarga, tapi itu kegiatan sebelum pandemi, setelah adanya pandemi ini, abah yai hanya membuat video diperuntukkan santri, wali santri, sampai alumni. Ya mengingat sekarang kondisi abah yai juga rentan sakit. jadi lebih baik menunda demi kebaikan, daripada nekat tapi malah menciptakan.

Aku sangat senang, karena di usia ku yang sudah tak terbilang seperti anak-anak ini, aku masih mendapat angpau atau uang saku dari pakde bude. Ya lumayan lah hasilnya. Dan menurutku, alasan kenapa yang sudah besar sudah tidak dapat jatah uang saku adalah karena semakin besar jelas ngasihnya juga semakin banyak, dan itu nanti menjadi beban bagi yang ngasih. Hehe pemikiran macam apa itu. Tetapi yang paling menyayat hati adalah pertanyaan-pertanyaan dari teman, tetangga dan saudara saat bertemu. “Sudah lulus? Kapan Nikah? Udah kerja? Udah Punya Calon? Dulu hitam sekarang tambah putih, tambah cantik” dan masih banyak lagi. 

Selama lima hari lebaran, aku dan keluarga terus mengelilingi rumah saudara-saudara, disitu aku baru menyadari, sudah berapa banyak keluargaku dari ayah maupun ibu yang meninggal tanpa sempat bersua dan masuk dalam status covid. Ya, hanya selama 2 tahun terakhir, kita sudah banyak menemukan kehilangan. Pada hari ke enam, rehat dirumah saja. Ibu dan aku membuat lontong ketupat dan lepet, juga sayur lodeh lengkap dengan topping udang untuk diantar ke tetangga sekitar rumah. Murid-murid dari ibu juga banyak yang datang dengan wali muridnya, juga masih banyak saudara-saudara yang datang bersilaturrahim pada nenek. Lalu dihari raya ke 7 ayah memutuskan untuk mengajak sekeluarga besar untuk rekreasi ke Trawas Mojokerto. ayah menyewa Elf. Rekreasi ini dalam rangka menyenangkan yang mondok-mondok karena sebentar lagi sudah kembali ke pesantren, jadi mumpung dirumah dipuas-puaskan untuk jalan-jalan. Meskipun perginya bebarengan, kita sangat menjaga protokol kesehatan. Karena itu sangat penting juga. Kami mendatangi 3 tempat wisata, berujung sampai ke tempat wisata di pasuruan. Alhamdulillah sangat menyenangkan, meskipun rekreasi keluarga yang sederhana, tapi tidak bisa dipungkiri, ada yang lebih berharga dari tempat yang dituju untuk rekreasi, yaitu waktu dan kebersamaan. Itu adalah hal yang belum tentu kita miliki di kemudian hari. Jadi pesanku, apapun yang sudah terjadi, berusahalah untuk ikhlas, dan jangan lupa setiap saat untuk selalu bersyukur, sesederhana apapun nikmat itu. Karena sejatinya selalu ada makna dalam setiap hal dan pengalaman yang kita alami dan kita jalani, kita hanya perlu syukuri itu. Sekian, Itu dulu ya Cerita Ramadhan-Lebaranku. ☺

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan