Oleh : Cindy Alfionika

 

Dalam suatu hubungan, pertengkaran menjadi hal yang lumrah terjadi. Entah itu karena perbedaan pendapat ataupun kurangnya komunikasi. Komunikasi yang tidak intens dapat menyebabkan kesalahpahaman bagi kedua belah pihak. Hal inilah yang mendasari terjadinya konflik. Ketika kedua belah pihak tidak ada yang mau mengalah, maka konflik pun akan semakin memanas karena saling mempertahankan pendapat dan ego masing-masing.

Sebagian orang pun memilih diam agar pertengkaran tidak terus berlanjut. Diam terkadang menjadi pilihan yang baik agar tidak mengatakan hal yang bisa membuat penyesalan. Diam setelah mengalami sebuah konflik memang wajar, apalagi sebagai reaksi spontan dan sebagai maksud meredakan konflik. Tapi perlu diingat, silent treatment berbeda dengan menunda pembicaraan. Silent treatment bisa jadi akar dari sebuah hubungan yang tidak sehat.

Silent treatment adalah suatu sikap dimana seseorang mendiamkan atau mengabaikan lawan bicaranya dengan menolak berbicara. Ini biasanya terjadi ketika seseorang merasa marah, frustasi, atau terlalu kewalahan dalam menghadapi suatu masalah. Padahal salah satu kunci hubungan yang baik adalah keterbukaan, dimana seseorang bisa saling mengutarakan apa yang dipikirkan atau dirasakan. 

Silent treatment berbeda dengan menunda pembicaraan, karena ketika menunda pembicaraan kita hanya memerlukan waktu sementara untuk saling menenangkan diri dan akan membahas permasalahan yang ada jika sudah tenang. Sementara silent treatment menolak membahas masalah yang ada baik sekarang maupun nanti. Karena tidak ada pembicaraan apapun, maka tidak ada pula peluang bagi seseorang dan lawan bicaranya untuk saling memahami atau berkompromi dalam menyelesaikan permasalahan tersebut.

Dilansir dari Life Hack, silent treatment ini bisa dikatakan sebagai metode untuk memberi hukuman secara psikologis dengan mengabaikan orang lain, baik dalam hubungan asmara, keluarga, maupun pertemanan, yang seolah memperlihatkan sikap tidak peduli pada seseorang dan bahkan hal yang lebih buruk dari itu. Hal ini membuat seseorang mengambil alih situasi untuk melakukan playing victim atau berpura-pura tidak tahu tentang masalah yang terjadi, sehingga menganggap perasaan seseorang tidak masuk akal, yang kemudian berdampak pada perasaan yang menjadi tidak menentu. Meskipun pada akhirnya setiap orang menerima perlakuan tersebut dengan perasaan yang berbeda, namun hal itu tidak menutup kemungkinan akan membuat seseorang mengalami depresi, marah dan frustasi, serta perasaan gelisah, terisolasi dan merasa ditolak dengan adanya rasa bersalah, kesepian, dan putus asa.

Orang yang melakukan silent treatment ini akan merasa kuat dan mempunyai kendali penuh. Sementara, orang yang menerimanya merasa bingung dan takut hubungan berakhir. Selanjutnya, komunikasi pun akan terfokus untuk membuat pelaku kembali biasa saja, bukan untuk menyelesaikan masalah. Jika ini terjadi secara berulang kali, maka bisa menciptakan hubungan yang toxic dan abusive. Dilansir dari Very Well Mind, perilaku mengabaikan dapat mengaktifkan suatu area otak yang juga aktif ketika mengalami rasa sakit fisik. Silent treatment juga dapat digunakan sebagai tindakan ‘menuntut.’ 

Sikap ini mau tak mau mengharuskan seseorang untuk patuh selama beberapa hari agar pasangannya berhenti mengabaikannya. Tindakan ini tentu salah karena merupakan salah satu bentuk pelecehan emosional. Akibatnya, seseorang yang sering mengalami silent treatment dari pasangan memiliki harga diri yang rendah dan merasa tidak berdaya dalam hubungan. Laman Pairedlife menuliskan, yang terpenting dalam permasalahan ini bukan lah diam, mengabaikan atau menyalahkan orang lain, tetapi memberikan ruang untuk saling intropeksi diri, saling mendengarkan dan memaafkan, serta menciptakan komunikasi yang efektif bukan hanya mementingkan kemauan sendiri.

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan