Oleh : Restu Rafy Ardiansyah

 

Virus Corona atau yang disebut juga COVID-19 pertama kali terdeteksi di Indonesia pada Maret 2020. Ratusan rumah sakit diseluruh Indonesia menjadi rujukan. Tak memandang dari kalangan mana COVID-19 ini menyerang, baik kaum yang tinggal di lantai 10 sebuah apartemen maupun mereka yang masih beratapkan kolong jembatan. Protokol kesehatan menjadi himbauan. Masker melekat di wajah dan berjarak di ruang publik. Tak lupa menjaga kebersihan badan sebagai salah satu penerapan dalam penghambatan penyebaran COVID-19. Semua mencoba legawa dengan keadaan. Jujur, memang tidak nyaman. Tapi inilah cara untuk bisa bertahan. Melihat dokter dan perawat bekerja berpeluh kesah serta dengan pakaian keamanannya yang tak kenal istirahat. Mereka rela berjarak dengan keluarga untuk bertaruh nyawa. Tak terhitung yang gugur dalam tugas. Sebab nasib ratusan juta nyawa manusia jadi alasan utamanya. Tentang “Mereka” yang menutupi gelisah dan lelah. Mereka yang selalu menjaga meski ancaman nyata di depan mata. Mereka yang bersabar demi kesembuhan.

Sistem untuk bersosialisasi pun berubah menjadi ruang maya untuk saling bisa bertatap muka serta saling sapa. Pembatasan aktivitas pun diterapkan, kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau yang sering disebut PSBB mulai dijalankan. Kerumunan massa dibubarkan demi meminimalisir banyaknya korban berjatuhan.

Hari dan bulan berganti, seluruh provinsi terinfeksi. Puluhan ribu jiwa meninggal dunia. Tak tercatat banyaknya duka yang harus diterima dan dialami. Keluarga hanya bisa mengantar doa ke peristirahatan terakhir dari jauh, melihat pun tak bisa memberikan sebuah symbol dengan gesture pun bingung mengungkapkannya. 

Banyak pertanyaan mulai muncul. Dari, “Apa COVID – 19 berdampak pada semua kalangan? Siapa yang dituntut untuk bisa bertahan ? Mengapa semua itu harus dilakukan ? Dan dimana  mereka harus mengais kebutuhan di dunia yang dituntut untuk terus bekerja keras tanpa melihat resiko yang ada di depannya?”.

Jawa timur adalah provinsi dengan penduduk terpadat kedua setelah Jawa Barat dengan jumlah 40.665.696 jiwa. Dan Surabaya adalah ibukota provinsinya yang menjadi kota dengan mobilitas tertinggi nomor dua di Indonesia. Sebagai kota dengan mobilitas yang tinggi Surabaya sangatlah berdampak pada penyebaran COVID-19.

 Kalau membicarakan apakah berdampak pada semua kalangan?. Jawabannya “tidak”. Karena, saat kita membahas hiburan dunia malam dan yang berkecimpung di dalamnya, mereka menjawabnya dengan santai tanpa takut terpapar oleh COVID – 19. Maksud dunia malam disini seperti, LC(Ladies Companion), DJ(Disc Jockey), PSK(Pekerja Seks Komersial)  dan pekerjaan lain yang konotasinya negatif tapi, dalam artian itu untuk mencukupi kebutuhannya tanpa meminta-minta. Ya , kebutuhan yang membuat mereka menghiraukan nama besar virus yang dibicarakan setahun belakangan ini. Berbagai cara dilakukan demi bisa menghidupi dirinya sendiri maupun keluarganya. Yang katanya tempat tersebut ditutup tapi, mereka tidak berpikir pendek dan memutar otak secara lebih.

Mereka para pekerja malam dituntut untuk bisa memenuhi kebutuhannya. Yang katanya dunia itu kotor, untuk mereka dunia itu halal dan tidak ada pilihan lagi bukan soal kepepet yang membuat mereka terjun. Ada beberapa alasan dan yang paling utama adalah tidak punyanya skill untuk bekerja di bidang lainnya. Tak hanya pekerjaan seperti LC,DJ dan PSK saja. Mereka yang melayani dengan cara HS (having sex) juga tak menyerah dengan menjajakan diri mereka via online. Ada beberapa aplikasi yang digunakan untuk mereka jadikan tempat menggaet konsumen seperti, mi chat, line, bahkan media social twitter sebagai ajang promosi yang lumayan menjanjikan dan bisa memberikan bukti realnya. 

Surabaya memang penuh cerita soal hiburan dunia malamnya, beberapa tempat diandalkan untuk mengais suka dan cita. Penthouse’s International Business Club, X1 Executive Club, Foreplay Club dan masih banyak klub lainnya. Tak hanya club atau diskotik besar yang disasar tapi, juga bangunan ruko digunakan sebagai tempat untuk mengelabui petugas yang selalu membuat mereka gusar. 

Memang ada yang mahal dalam promosinya tapi bagaimana yang hanya berpatok ratusan ribu harganya?. Sama-sama susah dan sulit meskipun bermodalkan kemolekan saja tak cukup. Siapa yang mereka andalkan untuk mendapatkan job itu?. Ya , jelasnya seorang Mucikarilah  dengan beberapa potongan sebagai upah si Mucikari. Bagi hasil sebutnya..

Tapi, ada mereka yang punya pelanggan masing-masing yang selalu setia. “Apa yang mereka beri sehingga setia menjadi pelanggannya?” saya pun sebagai penulis sampai bertanya-tanya. pikiran saya sampai tak karuan. “kemolekan tubuhnya, servicenya, atau ada hal lain yang tak pernah sekalipun menghampiri pikiran saya, hmm .. mungkin karena, alasan lain dengan masalah yang mereka miliki .

Saat menulis ini pun saya berpikir. COVID-19 sama sekali tak berdampak untuk para pekerja malam itu tapi, hanya berdampak pada tempat mereka saja. Makanya saya bilang “mereka selalu memutar otak untuk bisa bertahan di dunia yang dipilihnya”.

Negatif? Buat saya pekerjaan mereka tidak negative karena, menuruti kebutuhan dan ada jasa yang mereka jual. Tapi, apakah ada jalan keluar lain yang pas untuk mereka. Jawabannya, ”ADA”. Dengan cara pemerintah memberikan pelatihan skill baik di Balai Latihan Kerja maupun memberikan kucuran dana untuk usaha. Pemerintah tidak bergerak dengan cara pelatihan dan pemberian dana hasilnya akan sama saja. Mereka akan terjebak di dunianya yang hanya kan dipandang orang secara umum itu jelek selamanya. Membicarakan penertiban yang sering terjadi dan merazia mereka itu bukan jalan keluar tapi, hanya akan membuat mereka semakin percaya diri untuk menjalankan hal tersebut.  

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan