Oleh : Ahmad Janjani

Dengan berkembangnya industri pertelevisian di Indonesia saat ini menyajikan program unggulan berupa sinetron sebagai salah satu acara yang paling digemari oleh kebanyakan audiens di Indonesia dengan rating dan share tertinggi selama tahun 2016 yaitu average 8 persen & 35 persen. Menurut data program sinetron/serial TV swasta porsi waktu tayang serial lokal sebesar 59 persen,serial india 15 persen,serial Turki 9 persen. 

Tayangan televisi diperkirakan telah memengaruhi lahirnya perilaku negatif yaitu agresif dan konsumtif di kalangan masyarakat. Sajian acara televisi yang disuguhkan juga untuk konsumsi penonton dewasa dan mengesampingkan tayangan acara untuk anak-anak serta jam tayang-Nya pun seakan memaksa anak dibawah umur untuk ikut serta menonton. Sebagai dampaknya tayangan sinetron/FTV sangat dikhawatirkan mempengaruhi pola dan tingkah laku serta tutur kata penonton televisi di Indonesia. 

Film merupakan bagian daripada seni yang selain dijadikan sebagai bahan hiburan juga dijadikan lahan bisnis bagi para pelaku industri media. Film adalah bagian dari karya seni budaya yang merupakan media komunikasi massa dan sistem tingkah laku sosial  yang diproduksi berdasar kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara serta dapat dipertunjukkan.Film dapat berupa iklan film (trailer,poster dan foto), iklan film,film dokumenter, dll.

Film berpengaruh besar terhadap pembentukan dan perkembangan perilaku masyarakat, maka atas besarnya pengaruh film tersebut perlu sebuah tindakan untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya pengaruh buruk dari film itu sendiri. Pemerintah dalam hal ini salah satunya melakukan upaya dalam bentuk regulasi. Salah satu bentuk daripada regulasi perfilman tersebut adalah sensor. Menurut Risanuri yang menjelaskan dalam tulisannya, sensor adalah piranti yang mentransfer (mengubah) suatu nilai (isyarat/energi) fisik ke nilai fisik yang lain, menghubungkan antara fisik nyata dan industri elektrik dan peranti elektronika. Di dunia industri film berguna untuk monitoring ,controlling,dan protection yang juga sering disebut dengan transducer. 

Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009, sensor film adalah penelitian ,penilaian , dan penentuan kelayakan film dan iklan film untuk dipertunjukan kepada khalayak umum. Nah, artinya sensor film adalah penelitian dan penilaian terhadap film dan reklame atau iklan film untuk menentukan kelayakan film dan dapat atau tidaknya sebuah film/sinema dipertontonkan kepada khalayak/publik,baik  secara utuh maupun setelah pemotongan beberapa bagian gambar atau suara tertentu.

Oleh karenanya, setiap Negara juga termasuk Indonesia masing-masing memiliki lembaga sensor film yang sangat penting berperan dan berfungsi untuk melindungi Negara dan bangsa-Nya dari pengaruh negatif yang dihasilkan oleh film. Lembaga Sensor Film (LSF) merupakan sebuah lembaga yang memiliki tugas menetapkan status edar film di Indonesia. Maka dari itu sebuah film baru boleh diedarkan ketika berstatus dan dinyatakan “telah lulus sensor” oleh LSF. Selain dari film, LSF juga memiliki hak sama terhadap iklan film. Selain tanda lulus sensor, LSF juga akan menetapkan dan mengkategorikan golongan usia penonton bagi film yang bersangkutan.

Maka dari itu, dalam seluruh channel televisi Indonesia seperti : TransTv, MNC TV, Antv, NET, dan lain-lain. Biasanya kita sering melihat pada awal tayangan film selalu ada catatan “TELAH LULUS SENSOR FILM” lengkap dengan nomor izinnya. Selain dari itu, dalam setiap acara televisi sering kita melihat terdapat watermark yang terletak di bagian pojok kanan,kiri,bawah atau atas dengan bertuliskan R-BO,SU,D, dan lain-lain. Tulisan tersebut merupakan sebuah tanda/kode yang mengkategorikan film tersebut layak ditayangkan untuk kalangan umur berapa saja, kode tersebut juga ditentukan oleh LSF.

Sistem rating film di Indonesia yang ditentukan oleh LSF itu mengacu pada Undang-Undang No.33 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah No.18 Tahun 2014. Berikut beberapa pasal yang menjelaskan tentang sistem rating film Indonesia tersebut :

  1. UU No.33 Tahun 2009 Pasal 7 menjelaskan ; “Film yang menjadi unsur pokok kegiatan perfilman disertai oencantuman penggolongan usia penonton film yang meliputi film :
  1. Untuk penonton semua umur;
  2. Untuk penonton usia 13 tahun  atau lebih;
  3. Untuk penonton usia 17 tahun atau lebih;dan 
  4. Untuk penonton usia 21 tahun atau lebih.”
  1. UU No.33 Tahun 2009 Pasal 57 ayat 2 menjelaskan; “Surat tanda lulus sensor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan setelah dilakukan penyensoran yang meliputi :
  1. Penelitian dan penilaian tema,gambar,adegan,suara,dan teks terjemahan suatu film yang akan diedarkan dan/atau dipertunjukan kepada khalayak umum;
  2. Penentuan kelayakan film dan iklan film untuk diedarkan dan /atau di dipertunjukan kepada khalayak umum;dan
  3. Penentuan penggolongan usia penonton film.”
  1. PP 18/2014 Pasal 8a menjelaskan : “LSF Mempunyai wewenang penentuan penggolongan usia penonton.”
  2. PP 18/2014 ayat (1) menjelaskan ; “Film dan iklan film yang sudah selesai disensor digolongkan ke dalam usia penonton film, sebagai berikut :
  1. Untuk penonton semua umur;
  2. Untuk penonton u usia 13 tahun  atau lebih;
  3. Untuk penonton usia 17 tahun atau lebih;dan 
  4. Untuk penonton usia 21 tahun atau lebih.”
  1. PP 18/2014 pasal 28 ayat (1) menjelaskan ; “LSF menetapkan kelayakan film dan iklan film ke dalam penggolongan usia sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 

 

Film atas perannya sebagai salah satu media komunikasi massa, bisa menjadi sebuah alat terjadinya perubahan baru dan juga sebagai agen pengembang budaya bangsa. Seperti halnya film Korea yang dalam satu decade terakhir muncul sebagai kekuatan Industri film internasional. Dilihat dari dampak film yang mengarah terhadap perubahan baru dan menyokong perekonomian negara, maka industri perfilman harus dikembangkan dibina agar berjalan sesuai dengan yang inginkan hingga tak merusak moral bangsa. Dalam hal ini pemerintah melalui Lembaga Sensor Film (LSF) memberikan peraturan berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, LSF membagi kode rating film ke dalam kategori berikut :

 

SU (Semua Umur).

A (Anak-anak 3-12 Tahun).

BO-A (Bimbingan orangtua-dan anak-anak.

BO (Bimbingan orangtua untuk anak dibawah 13 tahun).

BO-SU (Bimbingan orangtua dan semua umur).

R (Remaja 13-16 tahun),13+ Film khusus diperuntukan bagi penonton 13 tahun keatas saja.

D (Dewasa), kategori dewasa pun masih dibagi lagi menjadi dua kategori, yakni :

  • 17+ = film yang diperuntukan bagi penonton 17 tahun keatas saja.
  • 21+ + Film yang diperuntukan bagi penonton 21 tahun keatas saja. 

 

Nah, jadi tidak heran jika dalam sebuah film/sinetron terdapat beberapa adegan yang terpotong-potong dan sebagian gambar yang terlihat tidak pantas untuk ditayangkan tertutup sensor. Juga tidak heran jika semakin malam, acara televisi semakin tidak ramah untuk ditonton oleh anak-anak dibawah umur karena disesuaikan dengan jam menonton orang dewasa. 

LSF bertugas mengklasifikasikan penggolongan usia penonton film,yang akan berjalan sukses dampaknya bila didukung juga oleh industri film dan masyarakat. Maka, tugas kita sebagai masyarakat juga harus turut disiplin dalam menonton tayangan televisi, dengan selalu memperhatikan kode rating dan membimbing anak-anak dibawah umur agar jangan sampai mereka menyaksikan tayangan khusus orang dewasa.

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan