Oleh: Nurul Hidayatul Rosidah

 

Siapa dari kalian yang tidak asing dengan kata homoseksualiti, biseksualiti atau mungkin kata transgender? Pasti banyak dari kalian menganggap kalimat itu adalah penggambaran untuk sesorang yang memiliki kelain sex atau mungkin penyuka sesama jenis, mungkin secara tidak sadar kita sebagai warga Indonesia sedikit merasa tidak setuju dengan adanya orang-orang seperti itu di lingkungan kita karena dianggap pengaruh buruk untuk keberlangsungan negara tercinta kita ini. Padalah bila ditarik lebih dalam lagi sebelum pra-Islam dan barat mulai masuk Indonesia, sebenarnya homoseksualiti sudah banyak dijadikan sebagai pemimpin sebuah ritual suatu daerah.

Pada umumnya masyarakat Indonesia memendang seksualiti dan gender itu secara biner, laki-laki dan wanita, fenimin dan maskulin tanpa mempertimbangkan seksualiti yang lain. Padalah bila ditinjau lebih dalam keberagaman seksual merupakan hal yang melekat kuat dalam masyarakat Indonesia. Seharusnya sudah saatnya orang Indonesia berhenti menganggap homoseksualiti merupakan produk impor budaya barat. Budaya Indonesia sudah lama terbiasa dengan keberagaman gender sebelum modernitas memberikan perubahan yang besar pada masyarakat.

Seprti dilansir dari The Conversation, masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan telah lebih dulu mengakui lima gender sebelum Islam masuk ke Indonesia, mereka membagi masyarakat menjadi laki-laki, perempuan, laki-laki menyerupai perempuan, perempuan menyerupai laki-laki dan pendeta androgini (bissu). Kemiripan serupa juga terjadi di provinsi yang sama yakni Toraja. Mereka mengakui gender ketiga, yang disebut to burake tambolang.

Antropolog Hetty Nooy-Palm menyatakan bahwa masyarakat Toraja mempercayai bahawa pemimpin agama paling penting dalam budaya adalah seorang wanita atau yang disebut dengan burake tattiku, atau seseorang pria yang menyerupai wanita atau yang disebut dengan burake tambolang. Pada masa sebelum modernisasi, transgender merupakan pemeran penting dalam upacara adat mereka. Bagi desa yang memiliki Bissu dan to burake merka akan menghormati desa tersebut.

Suku lain yang juga mememprcayai trasgender ialah tari tradisional reog ponorogo yang berasal dari Jawa Timur. Meskipun dalam ritual seorang pemeran warog tidak diperbolehkan berhubungan intim dengan wanita dan memperbolehkan berhubungan intim dengan laki-laki muda, mereka tidak mengidentifikasi diri mereka sebagai homoseksual.

Sayangnya, tradisi ini telah terkikis oleh nilai-nilai modern dan pendidikan yang dibawa oleh kolonialisme. Agama modern sangat menekankan heteroseksual dalam pernikahan, di anggap sebagai masalah moral, menjadikan pasangan yang non heteroseksual dan sex yang terjadi di luar pernikahan adalah suatu tidakan yang tidak bermoral.

Seiring dengan berjalannya waktu, banyaknya diskriminasi dan perkusi yang menargetkan pada kelompok Lesbyan, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT). Menjadikan tumbuhnya gerakan-gerakan dari mereka untuk meminta hak asasi atas diri mereka. Gerakan LGBT diyakini dimulai dari berdirinya organisasi transgender pertama himpunan wadam di jakarta (HIWAD) pada tahun 1969. Kata wadam yang mendapat protes dari pejabat negara akhirnya di ganti dengan waria.

Menjelang akhir rezim orde baru, perjuangan hak LGBT mengalami kemajuan yang baik pada 1993, Kementrian Kesehatan telah mengeluarkan homoseksual dari daftat ganguan jiwa. Pada September tahun 1998, Yayasan Srikandi Sejati didirikan untuk berfokus pada kesehatan orang-orang trasgender. Pada Desember 1998 Koalisi Perempuan Indonesia secara resmi mengikut sertakan diri.

Meskipun organisasi dan kelompok LGBT terus berkembang di Indonesia, diskriminasi dan juga kelompok anti-LGBT juga ikut berkembang pada tahun 2002, pemerintah memberikan provinsi Aceh untuk memberlakukan hukum syariat. Setahun kemudian muncul rancangan UUD untuk mengkriminalisasi homoseksualiti, akan tetapi rancangan tersebut gagal disahkan.

Terus berusaha untuk menyuarakan hak-hak asasi LGBT. Pada Juni 2013, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menetapkan hak LGBT sebagai topik untuk diskusi pleno untuk pertama kalinya dalam sepuluh tahun. Sayangnya, sejak saat itu, situasi perkembangan hak-hak LGBT adalah sama seperti yang kita dapat lihat sekarang, di mana diskriminasi dan kekerasan berbasis orientasi seksual masih terus terjadi, bahkan meningkat.

Pada 24 april 2021, Kemendagri membentuk tim khusus untuk melayani pembuatan KTP untuk transgender. Dirjen Dukcapil, Zudan Arif  mengatakan langkah ini dilakukan untuk membantu mempermudah para transgender mendapatkan dokumen kependudukan terutama KTP-el. Menurut ketua dewan pengurus perkumpulan suara kita, trasgender yang tidak memiliki dokumen kependudukan seperti KTP, KK dan akte kelahiran, membuat mereka kesulitan untuk mengakses layanan publik seperti BPJS dan bantuan sosial lainnya.

Dari lika-liku yang kaum LGBT rasakan, akankah dengan pembuatan dokumen kependudukan yang dipelopori oleh Kemendagri akan menjadi jalan yang manis untuk kaum pelangi? Atau hanya sekedar menjadi obat penenang agar tidak adanya keriuhan kaum pelangi lagi?

Entahlah hanya saja dengan begini para kaum LGBT lebih bisa mengakses sedikit haknya meskipun masih banyak batas yang tak membuat mereka bergerak bebas.

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan