Oleh : Husein Ihza Abdillah
Lebaran adalah nama lain dari hari raya umat Islam, baik Idul fitri maupun Idul adha yang dirayakan setiap tahun atau setiap bulan Syawal setelah sebulan umat Muslim melaksanakan puasa di bulan Ramadhan. Lebaran dalam bahasa Jawa artinya Sudah-an/Setelah-an atau Sesudahnya/Setelahnya, dan kalimat ini sudah terbiasa digunakan dalam Islam ketika umat muslim Indonesia telah menyelesaikan kewajiban berpuasa, Lebaran dalam Islam yaitu Sesudah/Setelah melakukan kewajiban berpuasa dalam bulan Ramadhan, kaum muslim Indonesia lebih familiar dengan kalimat Lebaran dalam merayakan Hari Kemenangan.
Lebaran Idul Fitri atau biasa disebut “Lebaran Mudik” saja dilaksanakan ketika Idul Fitri tiba, orang-orang Islam umumnya saling bersalam-salaman dan bermaaf-maafan dengan tetangganya, juga keluarganya setelah menunaikan salat Id.
Lebaran Idul Adha biasa disebut “Lebaran Haji”, karena memang pada saat-saat itu orang-orang Islam umumnya menunaikan ibadah Haji. Seusai salat Id, biasanya diadakan pemotongan hewan kurban, dan daging hasil sembelih itu kemudian dibagikan kepada warga di daerah yang bersangkutan atau kepada warga yang kurang mampu. Pada Lebaran Idul Adha masyarakat Muslim juga menunaikan salat Id.
Idul Fitri (bahasa Arab: atau Lebaran di Indonesia adalah hari (Īdul-fiṭr‘ .translate ,الفطر عيد raya umat Islam yang jatuh pada tanggal 1 Syawal pada penanggalan Hijriah. Karena penentuan 1 Syawal yang berdasarkan peredaran bulan tersebut, maka Idul Fitri atau Hari Raya Puasa jatuh pada tanggal yang berbeda-beda setiap tahunnya apabila dilihat dari penanggalan Masehi. Cara menentukan 1 Syawal juga bervariasi sehingga boleh jadi ada sebagian umat Islam yang .merayakannya pada tanggal Masehi yang berbeda
Pada tanggal 1 Syawal, mulai berakhirnya puasa pada bulan Ramadhan, kemudian merayakan Idul Fitri. Awal pagi hari selalu dilaksanakan shalat Idul Fitri (salat Id), disunnahkan melaksanakan salat Id di tanah lapang atau bahkan jalan raya (terutama di kota besar). Sebelum salat Id
dilakukan, imam mengingatkan siapa yang belum membayar zakat fitrah, sebab kalau selesai shalat Idul Fitri, baru membayar zakatnya hukumnya sedekah biasa bukan zakat. Adapun hukum dari salat Idul fitri ini adalah sunah muakad. Pada malam sebelum dan sesudah hari raya, umat muslim disunahkan mengumandangkan takbir.
Takbir mulai dikumandangkan setelah bulan Syawal dimulai. Selain menunaikan solat sunat idul fitri , kaum muslimin juga harus membayar zakat fitrah sebanyak 2,5 kilogram bahan pangan pokok. Tujuan dari zakat fitrah sendiri adalah untuk memberi kebahagiaan pada kaum fakir miskin. Kemudian, khotbah diberikan setelah salat Idulfitri berlangsung, dan dilanjutkan dengan doa. Setelah itu, kaum muslimin di Indonesia memiliki tradisi saling bermaaf-maafan, terkadang beberapa orang akan berziarah mengunjungi kuburan.
Lebaran juga identik dengan penyediaan jajanan khas seperti nastar, kue kacang, madu mongso, dan berbagai jajanan lain. Sudah menjadi hal yang biasa ketika menjelang lebaran banyak masyarakat yang beralih profesi menjadi pedagang jajanan khas lebaran. Tentunya, momen mendapatkan banyak keuntungan menjelang lebaran sudah sangat ditunggu.
Tradisi lain yang tidak bisa ditinggalkan saat lebaran adalah semua yang serba baru. Baju baru, sepatu baru, tas baru, toples baru, gorden baru, bahkan kursi baru pun sering menunggu momen lebaran. Anjuran untuk menggunakan yang terbaik saat lebaran membuat masyarakat cenderung membeli baju baru untuk merayakan momen ini. Selain itu, tradisi saling mengunjungi menyebabkan masyarakat memilih barang-barang baru saat lebaran agar tamunya merasa betah. Tentunya tradisi berbelanja menjelang lebaran akan ditunggu pula oleh para pedagang baju, sepatu, peralatan rumah tangga, dan lainnya. Omset para penjual tersebut bisa meningkat drastis pada bulan- bulan menjelang lebaran. Promo dan diskon besar juga sering dihadirkan pedagang pada bulan-bulan ini. Perancang baju pun sering menunggu momen lebaran untuk meluncurkan desain terbarunya.
Tidak hanya bagi pedagang besar. Lebaran juga ditunggu oleh pedagang kecil. Salah satunya adalah pedagang balon helium karakter. Pedagang ini biasanya banyak dijumpai di perempatan-perempatan saat lebaran. Karena anak-anak keluar rumah, lebih lama di jalan, dijadikan kesempatan bagus bagi mereka untuk menjajakan dagangan tanpa promosi berarti.
Warung makanan juga ramai pengunjung saat lebaran karena mayoritas masyarakat keluar dan seharian di jalanan sehingga lebih memungkinkan membeli makan di warung daripada pulang ke rumah. Bukan pemandangan aneh ketika lebaran banyak pedagang makanan yang bermunculan.
Tradisi lain adalah tradisi mudik. Lebaran seringkali menjadi momen untuk berkumpul dengan keluarga. Mudik sudah menjadi berita utama yang akan disiarkan ramai. Mengapa mudik? Lebaran pada umumnya disertai libur panjang sehingga banyak masyarakat di perantauan yang memilih pulang ke kampung halaman. Bahkan, lebaran juga sering menjadi pilihan masyarakat untuk melaksanakan reuni, baik dengan keluarga maupun teman.
Lebaran juga menjadi ajang tiap lingkungan untuk memamerkan kekompakan dan keindahan
desanya. Ada yang satu lingkungan memasang lampu warna-warni, lampu minyak di jalanan kecil, memasang bendera, dan hiasan-hiasan lain yang menjadi kebanggaan setiap lingkungan. Pada malam takbir, keliling untuk merasakan kemeriahan desa-desa seperti ini sungguh mengasyikkan. Bahkan, satu desa pun bisa banyak kemeriahan yang berbeda sehingga kemeriahan seolah tak ada habisnya.
Namun, lebaran kali ini berbeda. Lebaran kali ini Indonesia dan dunia tengah dilanda kekhawatiran karena virus corona. Masyarakat merasa was-was untuk berkumpul dan berkunjung. Begitu pula di Tulungagung. Masyarakat sempat bingung dengan kondisi yang ada. Bakdan atau tidak? Sedia jajanan atau tidak? Sedia sangu lebaran atau tidak? Bahkan, masjid-masjid yang biasanya ramai dengan masyarakat yang tarawih juga menjadi sepi. Hanya segelintir orang saja yang tetap berani pergi ke masjid. Apalagi, setiap hari masyarakat disuguhi berita perkembangan penyebaran virus corona yang semakin meningkat. Ketakutan semakin dipupuk. Berdiam di rumah menunggu keputusan pemerintah pun menjadi pilihan terbaik.
Awal puasa, suasana lebaran yang akan datang biasanya sudah tampak dengan aktivitas masyarakat yang berbelanja di toko-toko baju dan perlengkapan rumah tangga, kini sepi. Masyarakat seolah takut keluar rumah. Sempat ada rasa syukur karena ada harapan masyarakat sudah mulai sadar dan mematuhi aturan pemerintah. Namun, ternyata semakin dekat dengan lebaran, masyarakat semakin berani keluar rumah. Toko- toko baju sangat ramai pengunjung. Begitu pula dengan toko perlengkapan rumah tangga. Tampaknya, menunggu keputusan pemerintah terkait perayaan lebaran menjadi kegiatan membosankan.
Keramaian di toko maju dan mal yang diberitakan menyebabkan masyarakat yang semula santai pun mulai panik. Banyak yang mendadak membeli jajanan, tukar uang baru, dan bersih-bersih rumah yang menjadi kekhasan kegiatan menjelang lebaran. Hal tersebut dilakukan bukan karena tak takut pada corona, tetapi masyarakat lebih takut dianggap tak menghormati tamu yang datang.
Edaran dari pemerintah pun beragam dan membuat bingung. Ada pernyataan pemerintah yang mengharuskan masyarakat menutup total rumahnya selama tiga hari. Namun, pemerintah desa memiliki kewenangan yang berbeda-beda. Ada pemerintah desa yang memberikan kebebasan bakdan selama satu hari, ada yang tutup total tiga hari, ada yang menutup total selama tujuh hari dan bakdan hanya dengan keluarga kandung saja. Hal tersebut tentu membingungkan. Pergi berkeliling atau tidak? Membuka rumah atau tidak? Apakah yang dikunjungi mau menerima? Apakah jika ada yang datang dan meminta bersalaman akan kita ladeni? Perlukah memberi tanda pada tempat duduk agar jaraknya sesuai protokol kesehatan yang berlaku saat ini?
Begitu takbir berkumandang, ucap syukur tetap tercurahkan. Meskipun tak ada lagi takbir keliling yang meriah, tak ada cahaya obor, dan keriuhan anak-anak meramaikan jalanan, kumandang takbir dari pengeras suara masjid dan mushola tetap terdengar merdu. Namun, masyarakat harus kecewa lagi karena ada sebagian desa yang tidak mengadakan sholat Ied berjamaah di masjid. Kali ini, di rumah seolah menjadi keharusan yang tak bisa ditawar.
Hari pertama lebaran, pintu-pintu rumah pun tertutup rapat. Ada yang di pintu rumahnya ditempeli surat edaran dari pemerintah terkait himbauan untuk tidak membuka pintu saat lebaran. Bahkan, ada yang sudah menyiapkan banner khusus yang berisi ucapan khas saat lebaran dan ucapan permintaan maaf karena lebaran kali ini tidak menerima tamu. Tetangga depan rumah, samping, paling dekat pun tak ada yang berkunjung. Jajanan khas lebaran berjajar rapi di meja, tetapi tak ada keramaian dan keriangan yang biasa. Hanya ada suara kerupuk yang dimakan sendiri, hanya ada suara dengungan gawai yang tiada henti. Entah kemana masyarakat yang kemarin berbondong-bondong membeli baju lebaran. Entah berisi apa toples baru yang mereka beli. Entah dipamerkan siapa sandal dan sepatu baru mereka. Entah untuk siapa amplop yang mereka beli mendadak itu. Sepi dan mungkin jika ada kunjungan sing diparani ora bungah, sing moro pun susah.
Berkumpul bersama keluarga dan teman, berjabat tangan, bercanda ria yang selalu menghiasi lebaran kini hanya ada di angan. Kembang api, petasan, keriuhan penuh bahagia, selalu dirindukan menjelang lebaran tak lagi bisa dirasakan. Tak ada lagi perayaan meriah, hanya duduk dan rebah di rumah. Namun, apapun itu, semua harus tetap disyukuri. Kita tak sendiri menghadapi ini. Seluruh masyarakat Indonesia dan dunia merasakannya.
Bagi yang tetap bisa berkumpul bersama keluarga, itu sungguh berkah yang besar. Bayangkan mereka yang harus berlebaran di ruang isolasi. Tak ada jajanan khas yang bisa dirasa, apalagi bertemu sanak saudara. Mereka berlebaran harus terpisah dari keluarga. Lebaran kali ini pun tentunya menjadi kesedihan sebagian masyarakat Indonesia yang tidak lagi bisa mudik seperti tahun-tahun sebelumnya. Banyak orang tua yang tidak bisa bertemu dengan anak cucunya karena larangan mudik. Namun, tentu tak kalah sedihnya dengan para tenaga kesehatan yang secara langsung menangani kasus corona. Tak ada keluarga, tak ada teman lainnya, bahkan pulang ke rumahnya sendiri pun belum tentu bisa.
Bagi yang rezekinya yang masih mengalir lancar, tengoklah mereka yang kini harus gigit jari. Penyedia jasa tukar uang baru harus rela omsetnya turun drastis, jasanya tak lagi ramai dicari. Pedagang jajanan lebaran yang sudah memproduksi, yang hanya penjual kedua, yang tentunya sudah menunggu keuntungan besar saat lebaran, kali ini juga harus kecewa. Masyarakat ragu untuk membeli jajanan karena takut tidak boleh menerima tamu. Lebaran kali ini pun, tak dijumpai pedagang balon karakter di perempatan-perempatan. Entah, beralih kemana mereka untuk mencari rezeki. Warung-warung makanan pun menjadi sepi. Sepi pengunjung, sepi rezeki.
Dengan lebaran bersama corona, akhirnya kita tahu rasanya jauh dari keluarga. Tahu rasanya tak bercengkrama dengan tetangga. Tahu rasa sepinya rumah tanpa kunjungan sesama. Lebaran bersama corona kita tahu tak penting lagi baju baru, sandal baru, sepatu baru, atau perhiasan yang dipunya. Lebaran bersama corona mengajarkan kita waktu bersama keluarga, saudara, sahabat, dan tetangga begitu berharga. Lebaran bersama corona mengajarkan kita mensyukuri apa yang telah kita punya. Kita tak sendiri menghadapi ini.
Banyak regulasi yang berubah sejak adanya pandemi ini. Guna memutus rantai penyebarannya, Indonesia menerapkan protokol kesehatan yang terdiri dari social distancing,
wajib menggunakan masker dan selalu cuci tangan dalam kehidupan sehari-hari. Selain protokol kesehatan, semua sektor kehidupan yang terdampak pandemi juga menerapkan regulasi baru yang tidak seperti biasanya, dengan satu tujuan yakni memutus rantai penyebarannya, tidak terkecuali pada sektor pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan menerapkan regulasi baru berupa sistem pembelajaran daring atau online dari jenjang pendidikan terendah sampai jenjang pendidikan tinggi. Sementara itu, semua pegawainya menerapkan WFH (Work From Home).
Perubahan tradisi dan regulasi karena adanya Covid-19 ini semakin terasa saat bulan suci Ramadhan tiba. Banyak momen Ramadhan tahun ini yang hilang; tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Jika dulu selepas buka, semua orang bersiap diri berangkat ke masjid untuk shalat Tarawih, tahun ini semua orang dihimbau untuk melaksanakannya di rumah bersama keluarga, dan jika memang tetap melaksanakan Tarawih secara berjamaah di masjid, maka protokol kesehatan tetap harus dipatuhi. Semua momen cantik selepas buka menguap begitu saja. Seperti butiran debu yang tersapu angin sore. Di Ramadhan tahun ini, tidak terdengar lagi suara anak-anak yang saling kejar-kejaran di pelataran masjid. Pun dengan suara kembang api yang biasanya dibunyikan menjelang adzan Isya’, suaranya yang menggema di semua sudut kampung, kini tidak terdengar sama sekali. Suara-suara kembang api itu berganti suara kekhawatiran dari orang-orang yang sedang berjuang melawan pandemi.
Semua orang berharap, Ramadhan membawa angin segar bagi semua orang. Derajatnya yang suci diharap bisa segera menyapu bersih pandemi ini, namun Tuhan memang masih berkehendak lain. Tuhan masih ingin terus menguji hamba-hamba-Nya yang akan naik kelas. Sehingga bukannya ada perubahan yang lebih baik, seminggu sebelum lebaran keadaan masih sama, semuanya masih dalam pengawasan ketat Covid-19.
Hari raya di tengah pandemi ini seharusnya menambah peluang untuk mendorong setiap muslim melaksanakan ibadah lainnya untuk menyambut Idul Fitri, seperti melaksanakan zakat fitrah dan memperbanyak sedekah; sementara itu, sikap disiplin dan kooperatif juga diperlukan oleh masyarakat untuk menjalankan protokol kesehatan Covid-19 dengan baik dan memahami manfaat hidup sehat agar pandemik corona. Sikap disiplin, mental, niat untuk saling menjaga dengan menjaga diri dan menahan keinginan tidak keluar rumah menjadi benteng diri sendiri dan menjaga orang lain untuk mengurangi penularan virus tersebut di samping masyarakat Indonesia juga harus mulai menerapkan hidup bersih dan sehat. Kesadaran diri masyarakat Indonesia masih rendah untuk memperbaiki kualitas hidup mereka, dengan wabah ini menjadi suatu momen yang tepat agar kita mau merubah cara pikir (mindset), gaya hidup dan kepekaan sosial terhadap sesama, alam dan keberlangsungan hidup generasi masa depan yang juga memiliki kesempatan yang sama untuk hidup di dunia dengan kondisi alam yang baik, layak bagi mereka.
Dapat dikatakan bahwa selama ini mungkin berbagai kebiasaan hidup, kepedulian terhadap sesama, alam dan lingkungan sangat rendah, terutama kehidupan di era digital, manusia cenderung lupa, sibuk dengan berbagai kesenangan hidup, sebagai contoh penggunaan gadget yang mendominasi dan terkadang menghalangi kedekatan umat untuk menjalankan ibadah kepada sang Cipta. Kehidupan anak muda yang didominasi dengan nongkrong di café dan
warung kopi hampir 816 jam diiringi dengan permainan game tanpa henti. Kebiasaan Kebiasan yang dilakukan oleh mereka sebagai akibatnya membuat mereka ketagihan bermain, dan mereka juga lupa dengan segala kewajiban sekolah maupun keperluan hidup sebagai manusia normal bersosialisasi, beribadah, berkumpul dengan keluarga, menjaga lingkungan, peka dengan berbagai permasalahan, sudah sangat jauh ditinggalkan. Sebagian besar manusia terlena dengan segala kemudahan yang ditawarkan dalam mobilephone; alat yang seharusnya digunakan oleh manusia secara bijaksana akan tetapi membuat mereka menjadi makhluk santai dan kurang dapat mengatur dengan baik atau disiplin; sementara kedisiplinan merupakan wujud ketaqwaan umat muslim guna meraih keberkahan Allah. Umat muslim seharusnya bertaubat, berpikir dan berefleksi dengan bersabar pada saat ini, kita akan bangkit dan akan kembali meraih kemenangan, kesuksesan dalam waktu yang tidak lama lagi. Semua kondisi ini digunakan sebagai momen untuk lebih beriman dan bersyukur, bertaubat, bersungguh-sungguh memahami ajaran Allah sehingga muslim dapat mengetahui hal baik dan buruk, bertekad kuat untuk memperbaiki diri dan lebih mendekatkan diri kepada Allah. Era pandemi Covid-19 menjadi suatu pertanda atau transisi bagi semua umat di dunia bahwa kita harus siap, tangguh, dan tegar menyambut dan menghadapi new normal yang akan bersiklus setiap 75 tahun, bumi akan merevolusi, meregenerasi kondisi alam, penghuni beserta kesiapan semuanya untuk menjadi seimbang dan berjalan sebagaimana mestinya yang selama ini sudah terlalu lama diabaikan oleh manusia yang secara tidak sadar merusak semua tatanan dunia. Era pandemi Covid -19 seharusnya menjadi cermin dan refleksi bagi semua umat, Tuhan masih sayang dan peduli untuk selalu mengingatkan kita dengan berbagai cara dan sentuhanNya yang tanpa disadari menegur kita semua yang telah lupa bahwa manusialah yang membutuhkan untuk memperbaiki diri, beribadah, merawat alam sebagai penyeimbang keberlangsungan hidup di dunia ini.