Oleh:   Husein Ihza Abdillah

 

May day adalah suatu sebutan atau istilah yang selama ini hanya dikenal di dunia penerbangan. Isitlah “Mayday” sendiri jarang digunakan dalam penerbangan karena kalimat itu hanya dipakai saat ketika suatu pesawat terbang mengalami gangguan atau mengancam keselamatan awak pesawat.

Dan yang cukup mengherankan itu jika kata “Mayday” itu digunakan juga untuk memperingati Hari Buruh Internasional setiap pada tanggal 1 dibulan Mei. Di beberapa negara hari buruh ini juga disiasati sebagai hari libur tahunan yang diawali dari usaha pergerakan serikat buruh untuk merayakan keberhasilan perekonomian dan sosial para buruh.

Perkembangan kapitalisme industri diawal pada abad-19 menandakan perubahan drastis di segi ekonomi maupun politik, terutama di negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat. Pemogokan pertama kelas pekerja AS pada tahun 1806 oleh buruh pekerja Cordwainers. Sejak itu, perjuangan untuk menuntut direduksinya jam kerja menjadi agenda bersama kelas pekerja di AS. Pada tahun 1882, terjadi parade Hari Buruh di New York dengan 20.000 partisipan buruh dan membawa spanduk bertuliskan “8 jam kerja, 8 jam istirahat, 8 jam rekreasi” yang dipelopori oleh Maguire dan McGuire.

Dan berlanjut hingga pada tanggal 1 Mei 1886, 400.00 buruh di AS demo besar-besara untuk menuntut 8 jam sehari, aksi ini berlangsung selama 4 hari sejak tanggal 1 Mei. Pada tanggal 4 mei 1886, para demonstran pawai besar-besaran, polisi Amerika sempat menembaki para demonstran hingan ratusan orang demonstran  tewas dan para pemimpinya ditangkap lalun dihukum mati, sebelum hari itu juga sudah terjadi pemogokan buruh untuk menuntut perlakuan yang adil dari pemilik modal.

Di Indonesia sendiri ada yang namanya Marsinah, ia aktivis buruh berlidah tajam dan organisator terpelajar. Marsinah adalah buruh PT Catur Putera Surya (CPS), pabrik arloji di Porong, Sidoarjo. Marsinah membawa 12 tuntutan, mulai dari kenaikan upah 20% hingga membubarkan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) ditingkat pabri. SPSI adalah satu-satunya organisasi buruh yang dinyatakan legal oleh rezim otoriter Soeharto.

Bersasarkan laporan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), emosi Marsinah memuncak ketika tahu rekan kerjanya dipaksa mengundurkan diri. Dia minta salinan surat pengunduran diri tersebut dan surat kesepakatan dengan manajemen PT CPS. Sebab dalam surat kesepakatan itu, 12 tuntutan buruh diterima termasuk poin tentang pengusaha dilarang melakukan mutasi, intimidasi, dan melakukan PHK karyawan setelah mogok kerja.

Ada juga perlu diingat pejuang buruh perempuan lain adalah Heti Kustiawati, berusia 22 tahun. Perjuangannya dan rekan kerjanya yang mogok kerja di PT Alpen Food industry yang memproduksi es krim Aice, pada November 2017 lalu, lantaran ketika para buruh bekerja, pipa mesin pendingin es krim kerap bocor. Amonia tertiup mengisi penuh ruangan produksi. Gas alkali tak berwarna itu mengeluarkan bau tajam dan khas. Zat yang biasa dipakai untuk bahan pupuk ini sangat berbahaya, bisa bertahan lebih dari seminggu dalam ruangan. Zat tersebut bisa mengakibatkan iritasi kulit, mata, hidung, tenggorokan, dan paru-paru.

Heti juga sudah setahun lebih bekerja, tetapi ia belum mendapatkan hak kesehatan atau BPJS. Ia sering mengumpulkan bukti pembayaran dari klinik dimana ia berobat. Disisi lain, ia juga cemas karena biaya pengobatan tak pernah diganti oleh PT AFI seperti hari-hari sebelumnya. Sedangkan para buruh bekerja tanpa panduan rencana tanggap darurat “SOP” tidak ada, tidak ada pula pemeriksaan kesehatan secara rutin, dan juga tidak ada kompensasi jika para buruh terjangkit penyakit atau cedera akibat kerja.

Namun, bekerja di PT AFI ini, kecelakaan kerja ditanggung buruh sendiri. Hal ini tegas tertulis dalam pasal 10 point 2 kotrak kerja. Isinya, bila buruh mengalami kecelakaan kerja dikemudian hari dan mengakibatkan cacat fisik, dan peristiwa itu merupakan kelalaian si buruh semata alias human error dan tidak bisa menuntut perusahaan.

Dengan demikian kita bisa melihat bahwa buruh perempuan juga perlu diperhatikan, beranjak dari kedua kisah heroik pejuang buruh perempuan tadi, masuknya perempuan di dalam sektor industri, sebagai buruh, tidak bisa dikatakan sebagai wujud dari semakin majunya peradaban pada perempuan. Meskipun akses perempuan terhadap kesempatan kerja mulai terbuka, namun tetap dianggap bukanlah emansipasi bagi perempuan, menjadi buruh bagi perempuan itu merupakan wujud dari ketidakberdayaannya terhadap himpitan ekonomi yang menggerogotinya. Tidak ada kewajiban bagi buruh untuk menjual jasa-jasanya pada kapitalis, akan tetapi mereka juga harus bekerja untuk memperoleh pendapatan demi menghidupi diri dan keluarga.

Pada kenyataannya, buruh perempuan sebagai bagian dari kelas pekerja, mengalami beban kerja ganda, dalam relasi kerja di bawah sistem kapitalisme. Selain itu harus bekerja di luar rumah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya, buruh perempuan pun harus mengerjakan pekerrjaan-pekerjaan domestik, akibat peran atasanya sebagai istri dan ibu.

Di tempat kerja, buruh perempuan kerap kali mengalami beberapa ketidakadilan. Banyak dari para buruh menerima upah yang sangat tidak layak, karena tidak sesuai dengan tingkat pengeluaran rata-rata buruh di wilayah dia bekerja. Buruh juga masih banyak yang tidak memiliki jaminan sosial dan perlindungan kerja. Demikian dengan cuti haid bagi buruh perempuan. Cuti haid bagi buruh perempuan menjadi hal yang sering dilanggar oleh pemilik modal. Di Indonesia sendiri, pelaksanaan aturan cuti haid di tempat kerja masih tergolong sangat diskriminatif. Hal ini merupakan sesuatu yang antara ada dan tiada.

Selain itu, masih banyak ditemukan ketidakadilan dialami buruh perempuan yang tengah mengalami masa kehamilan. Pelanggaran terkait cuti hamil juga dialami buruh perempuan dengan motif pemutusan hubungan kerja (PHK). Kondisi ini semakin ironis dengan adanya kebijakan fleksibilitas tenaga kerja; yang menyebabkan munculnya buruh dengan status buruh kontrak, outsourcing dan magang. Cuti hamil menjadi sangat problematis bagi buruh perempuan; terutama yang berstatus pekerja kontrak dan outsourcing. Buruh perempuan dengan status tersebut kerap mengalami pemutusan kontrak ketika mereka diketahui hamil.

Pemutusan kontrak tersebut kerap dipandang perusahaan sebagai cara untuk menghindari kerugian dengan mempekerjakan perempuan hamil, yang dianggap cukup beresiko dan menghambat efektivitas dan efisiensi akumulasi modal. Hingga saat ini masih banyak perusahaan di Indonesia tidak mematuhi aturan pemberian hak cuti hamil bagi buruh perempuannya, baik pra maupun pasca melahirkan. Kondisi itu kerap tidak muncul di permukaan, dikarenakan rasa khawatir dan ketakutan dari buruh perempuan, terutama dengan status kontrak, outsourcing, dan magang. Mereka cenderung menyembunyikan kehamilan, dan juga mempersingkat cutinya agar tidak mendapatkan “surat PHK” dari perusahaan.

Apa yang dialami oleh buruh perempuan di atas menjadi refleksi bagi kita, bahwa keberlangsungan sistem kapitalisme hingga saat ini, sangat merugikan kaum buruh terutama buruh perempuan. Perjuangan untuk mewujudkan kehidupan buruh perempuan masih sangat panjang. Kasus-kasus di atas menunjukkan betapa rentannya posisi perempuan dalam sistem kapitalisme.

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan