Oleh : Moh. Firda Efendi

Ramadhan 2 tahun yang lalu menjadi Ramadhan terakhir yang paling meriah, hiruk pikuk orang menuju ke keharibaan Sang Maha Kuasa silih berganti tak ada habisnya untuk menggapai keistimewaan bulan Ramadhan. Tadarus berkumandang tanpa batasan, bersilaturahim tanpa aturan, shaf shalat selalu dirapatkan, saling menyapa antar sesama tanpa maskeran. Wahh, sungguh indahnya jika saling dekat dan rapat tanpa harus takut penularan. Apalagi nikmatnya buka dan sahur bersama dengan rekan-rekan.

Namun, sekarang tinggal kenangan dari berbagai keindahan dan kebahagiaan di bulan Ramadhan 2 tahun yang lalu. Segala aturan dan penerapan protokol kesehatan diberlakukan tanpa pandang-pandang. Sampai-sampai barisan menunduk kepada Tuhan direnggangkan karena takut tertular makhluk yang diciptakan Tuhan. Ketika barisan masih rapatpun perlu dipertanyakan, apakah sudah merapatkan hati kita dengan Tuhan? Apalagi secara lahiriyah pun juga direnggangkan, bagaimana keadaan hati kita?

Di dalam hadits shohih sudah dijelaskan:

سَوُّوا صُفُوفَكُم, فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ مِنْ إِقَامَةِ الصَّلاةِ

“Luruskanlah shaf-shaf kalian, karena lurusnya shaf adalah bentuk menegakkan shalat (berjama’ah)” (HR. Bukhari no.723).

Berkaitan dengan aturan pemerintah dalam penerapan protokol kesehatan yakni “menjaga jarak” yang juga diterapkan pada pelaksanaan ibadah shalat berjamaah terlihat bertentangan dengan perintah merapatkan shalat pada hadits di atas. Jika menilik dari hal kedaruratan kesehatan, maka itu harus dilaksanakan dan dipatuhi. Akan tetapi jika melihat dari kacamata fiqih agama bagaimana? Apakah sah shalatnya?

Mengutip dari beberapa pendapat para fuqaha mengenai kerapatan shaf dalam shalat berjamaah pada masa pandemi yang dirilis dari Forum Bahtsul Masail Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo, Jawa Timur. Para ahli fiqih menjelaskan dan memahami bahwa perintah merapatkan shaf shalat tersebut merupakan perintah yang bersifat sunnah, dan bukan perintah wajib. Dengan kata lain, aturan menjaga jarak yang diterapkan oleh pemerintah dalam pelaksanaan sholat berjamaah sebagai kebalikan dari tindakan merapatkan shaf shalat bukan merupakan suatu tindakan yang haram, melainkan makruh. Berdasarkan penjelasan tersebut bisa kita simpulkan bahwa kerapatan shaf shalat bukan merupakan syarat sah nya shalat berjamaah, melainkan bagaimana cara mendapatkan keutamaan dalam shalat berjamaah yakni merapatkan shaf shalat.

Pernyataan tersebut juga didukung oleh kutipan pernyataan Ibn Alan, menegaskan demikian:

وعن أنس رضي اللّه عنه أن رسول اللّه قال: رصوا صفوفكم) أي حتى لا يبقى فيها فرجة ولا خلل

(وقاربوا بينها) بأن يكون ما بين كل صفين ثلاثة أذرع تقريباً، فإن بعد صف عما قبله أكثر من ذلك كره لهم وفاتهم فضيلة الجماعة حيث لا عذر من حر أو برد شديد

Artinya: “(Dari sahabat Anas RA, Rasulullah bersabda, ‘Susunlah shaf kalian’) sehingga tidak ada celah dan longgar (dekatkanlah antara keduanya) antara dua shaf kurang lebih berjarak tiga hasta. Jika sebuah shaf berjarak lebih jauh dari itu dari shaf sebelumnya, maka hal itu dimakruh dan luput keutamaan berjamaah sekira tidak ada uzur cuaca panas atau sangat dingin misalnya,” (Ibnu Alan As-Shiddiqi, Dalilul Falihin, juz VI, halaman 424)

Hikmah dari hal tersebut adalah bagaimana cara kita melewati ujian dari Allah SWT dalam masa pandemi ini dalam hal beribadah. Apakah kita semakin ingat kepada Allah SWT yang memberikan ujian ini atau malah semakin menjauh hubungan kita kepad Allah SWT seiring renggangnya lahiriyah kita dalam melaksanakan shalat berjamaah. Pandemi bukan menjadi alasan kita memiliki keterbatasan dalam beraktifitas akan tetapi bagaimana cara kita berpikir sebaliknya dari ujian tersebut bahwa hal ini merupakan suatu peringatan dari Allah SWT bahwa kita yang terlalu sombong dan lupa atas nikmat yang diberikan Allah bisa kalah dengan makhluk yang sangat kecil yang diciptakan Allah untuk menguji keimanan kita.

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan