Oleh: Alfia Asih Purwati

Sering kita jumpai menyatakan perasaan wajarnya dilakukan oleh laki-laki sedangkan perempuan diminta duduk diam menyimpan perasaannya sambil menunggu serta memberi jawaban saat ada laki-laki yang menembak. Kenyataanya adalah perasaan hadir lebih dulu bukan hanya pada laki-laki namun juga pada perempuan karena Tuhan memberikan rasa pada setiap umatnya. Namun, hidup dalam budaya patriarki yang tidak mewajarkan perempuan menyatakan perasaan lebih dulu membuat banyak orang masih memandangnya tabu. 

Perempuan seakan terikat oleh stigma yang mengatakan bahwa menyatakan perasaan lebih dulu kepada laki-laki akan membuat harga diri perempuan jatuh, tidak tahu malu, dan dicap sebagai perempuan murahan. Padahal, jika ditelisik lebih jauh memang apa salahnya perempuan menyatakan perasaan lebih dulu? Apakah menyatakan perasaan adalah hal berdosa? 

Tak jarang kalimat seperti “perempuan itu takdirnya dikejar bukan mengejar” masih berlalu lalang dan diyakini banyak orang termasuk oleh sesama perempuan. Sehingga ketika ada perempuan yang ingin menyatakan perasaanya akan tergiang segala pandangan dan stigma yang membuatnya urung menyatakan perasaan. 

Alasan yang digunakan itu adalah cara mereka mengistimewakan perempuan padahal yang terjadi justru sebaliknya. Perempuan menjadi tidak berani mengungkapkan apa yang dia rasakan secara gamblang, membuatnya tertekan akan perasaan yang selama ini ia pendam, dan kehilangan kesempatan untuk bisa bersama orang yang ia idamkan. Jika dampaknya seperti ini apakah alasan mengistimewakan perempuan masih valid? 

Ketidakadilan dalam memberi kesempatan kepada perempuan membuat perempuan tidak bisa menyuarakan apa yang ia rasakan dan tidak bisa memulai pendekatan lebih dulu karena sudah keburu takut dinilai agresif. Atas hal ini pula menjadikan saya beberapa waktu lalu melakukan polling instagram, bertanya khususnya kepada laki-laki bagaimana jika ada perempuan yang menyatakan perasaan kepada mereka, apa akan oke-oke saja atau malah ilfeel

Dari 60 viewers yang berisi laki-laki dan perempuan, terdapat 100 persen dari 8 laki-laki menjawab oke-oke saja untuk lainya saya asumsikan mereka asal skip story dan bisa jadi ilfeel namun tidak berani ikut polling. Kemudian di twitter saya menjumpai hal serupa, bedanya kita bisa langsung menjumpai alasan mereka dari kolom reply. Ada yang mengatakan tidak ada salahnya perempuan menyatakan perasaan lebih dulu namun ada pula yang mengatakan bahwa menyatakan perasaan adalah tugas laki-laki. 

Ini menarik, karena ternyata dibalik stigma yang mengharuskan perempuan duduk diam dan menunggu ternyata sudah ada beberapa laki-laki dan perempuan yang memiliki pandangan menyatakan perasaan adalah hak setiap manusia bukan hanya pada salah satu gender saja. Meski masih sering pula kita jumpai tipe orang yang berpikiran menyatakan perasaan adalah tugas laki-laki. 

Kemudian saya bertanya kepada salah seorang teman perempuan, apa yang membuatnya tidak berani menyatakan perasaan lebih dulu? Jawabnya adalah karena malu ditolak. Lalu saya bertanya kepada salah seorang teman laik-laki, sebagai seorang laki-laki yang menyatakan perasaan lebih dulu kepada perempuan kalau mendapat penolakan apa yang dirasakan? Jawabannya adalah sedih. 

Yang membedakan adalah laki-laki mengetahui ketika mereka menyatakan perasaan resiko penolakan itu sudah pasti ada apalagi lingkungan sudah mengajarkan hal itu kepada mereka sejak dulu dan menariknya ia tidak mengatakan malu melainkan sedih karena sudah ditolak. Sedangkan perempuan masih berada di titik dimana malu jika ditolak belum lagi memikirkan segala stigma yang akan mereka peroleh jika menyatakan perasaan lebih dulu. 

Inilah pentingnya memberikan kesempatan kepada perempuan agar berani menyuarakan apa yang ia rasakan termasuk menyatakan perasaan. Bukan melulu melanggengkan pemikiran “takdir laki-laki itu mengejar sedangkan perempuan dikejar” karena masing-masing memiliki kesempatan yang sama tanpa memperoleh stigma.

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan