Penulis : Muhamad Helmi Nur Khumaini

Bulan puasa atau Ramadhan hadir dengan banyak atribut khas yang memang tidak akan ditemui di bulan-bulan yang lain. Seperti istilah takjil yang padahal kalau di bulan lain istilahnya “jajan”, aktivitas menunggu berbuka yang disebut ngabuburit sampai fenomena berbuka bersama atau biasa disebut bukber. Bukber sendiri sudah jadi tradisi yang mengakar kuat dibudaya masyarakat muslim Indonesia. Mulai dari yang sederhana yakni bukber dengan bapak dan ibu, bukber temen sekelas hingga bukber kantor.

Dalam sejarahnya, tradisi makan bersama atau bukber ini telah ada sebelum agama Islam masuk ke Nusantara. keadaan geografis, kondisi cuaca maupun iklim yang termasuk hangat kemudian membuat karakter masyarakat ketimuran suka berkumpul. Dan hadirnya Islam memperkuat niat untuk terselenggaranya bukber sebagai ajang silaturahmi, bersedekah atau bahkan menambah amal perbuatan.

 

Pada praktiknya, sebagian bukber memang menerapkan hadits yang berbunyi.

“Siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga.”

Bukber dengan niat semacam ini tentu saya dukung dengan sesungguhnya iman. Karena banyak hal baik yang dapat kita petik, baik dari sisi kemanusiaan hingga pengalaman batin masing-masing dari kita yang termanifestasi dengan wujud hati yang nyaman atau bertambahnya rasa syukur. Namun bukber yang kerap kita temui, terlebih aktivitas bukber yang kita lakukan diluar keluarga inti kita, tersisip niatan yang mungkin “nggak enak aja kalau di obrolin”. Misal, adu nasib, ajang adu “keglow up an”, adu kondisi finansial secara implisit sampai ajang adu solidaritas antar kelas (sekolah atau kuliah).

Sudah jadi kecemburuan tersendiri jika rumput tetangga lebih hijau dari pekarangan sendiri. Jika kelas sebelah sudah upload foto selfie bukber, sedangkan kelas kita sendiri belum, begitupun sebaliknya. Hal ini mencerminkan sikap fastabiqul khoirot yang sangat kental dalam diri kita sebenarnya. Namun yang membuat aktivitas bukber ini ternodai adalah ulah oknum-oknum yang gemar bersombong diri serta merendahkan kelas lain yang belum sempat kepikiran bahkan akan mengadakan  bukber atau tidak. Atas dalil solidaritas dan kekompakan, proses penggorengan isu pun dimulai. Roasting berkedok review acara bukber mereka pun gelak dilancarkan. Dan bagi kubu tribun sebelah, tentu akan termakan propaganda ini dengan sangat mudah.

Secara substansial, solidaritas dapat diukur dari banyak hal. Parameter solidaritas tak hanya dipatok dari kegiatan yang dilakukan bersama-sama. Tapi bisa dengan bentuk kepedulian antar anggota, rasa senasib sepenanggungan, dan banyak hal konseptual lain yang serupa. Pengaplikasian konsep ini salah satunya memang bisa dilakukan dengan acara berkumpul bersama, bukber misalnya. Namun sekali lagi tolak ukur solidaritas tak hanya dilihat dari kebersamaan dan acara kumpul-kumpul. Tak perlu juga membuktikan solidaritas dengan mengadakan bukber, terlebih di kondisi seperti ini. Lebih baik kegiatan beramai-ramai dan berkumpul-kumpul dihindari. Hal ini dibuktikan dengan gelombang tsunami covid yang menerpa India pasca tradisi

“mandi bareng” dan perayaan hari sakral lain dilakukan. Di Indonesia sendiri bukber diduga menjadi penyebab penambahan klaster perkantoran baru, padahal sebagian dari klaster itu sudah mendapat vaksinasi.

Dan pada akhirnya, kegiatan bukber sudah sewajarnya kita sikapi dengan biasabiasa saja. Sekedar memecahkan celengan rindu pada dia yang tak sempat bersamamu, sekedar tertawa lepas dengan sahabat tanpa alasan jelas, sekedar makan dan minum dengan orang-orang yang pernah ada dalam hidup kita. Dan seperti quote yang cukup masyhur,

“sesuatu yang berlebihan itu tidak baik”.

Sekian terimakasih…

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan