oleh : Anggun Selesia Rosadi

“Allahu akbar… Allahu akbar… Allahu akbar…..” sayup-sayup terdengar suara takbir di seluruh penjuru daerah. Tak lama setelahnya terdengar suara adzan yang di barengi dengan suara alarm dari salah satu kamar kos. Pagi itu pukul 4:30 pagi, Ini kali pertama Alisya tidak berada dirumahnya saat Hari Raya Idul Fitri. Ia bangun dan membuka matanya, mematikan alarm sembari memastikan pukul berapa sekarang. Begitu ia menyadari bahwa sudah setengah 5 pagi ia bergegas mandi. Seusai mandi Alisya mengambil mukenanya dan pergi sholat subuh.

Tak seperti biasanya ia tidak mengikuti shola Ied pagi ini. Alasannya tak lain karena Alisya bukan penduduk asli daerah tersebut. Ia tak mau disebut sebagai penyebar virus, sehingga sejak diumumkannya adanya pandemic selain pergi bekerja dan berbelanja ia tak pernah kemanapun, termasuk kegiatan mudik tahun inipun tak ia laksanakan.

Alisya tak begitu cemas karena tak bisa pulang, karena ia berfikir bahwa ini kesempatannya tak akan menemui kerabatnya yang selalu membandingkan gajinya dengan saudaranya yang lain terutama menanyai perihal kapan ia akan menikah. Ia merasa sedikit lega karena tak harus menemui hal-hal seperti ini tahun ini.

Namun, berbeda dengan orang tuanya yang sangat merindukan putri kesayangannya. Orang tuanya sering sekali menelepon untuk menyanyakan kabar Alisya dan kapan ia akan pulang kampung. Alisya tak dapat memberikan kepastian, apalagi saat ini belum diperbolehkan untuk menempuh jarak yang jauh. Selain itu, tak ada kendaraan umum yang beroperasi untuk saat ini.

Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamarnya. “Mbak Alisya engga pulang kampong ya?”, Alisya mengenal suara itu dan bergegas membuka pintu kamar. Benar tebakannya, itu Ibu Parti pemilik kosan. “Iya, Bu. Belum boleh pulang kampus soalnya”, jawabnya menyambut kehadiran Bu Parti. “Yasudah, Ibu masak banyak, Mbak Alisya kerumah saja makan bareng-bareng sama yang lain. ini juga ibu bawakan ketupat untuk makan nanti.” Bu Parti memang tipe Ibu Kos yang baik dan perhatian. Tak hanya Alisya, wanita paruh baya itu juga meminta seluruh penghuni kos untuk hadir kerumahnya. Apalagi ia tahu anak-anak dan saudaranya tahun ini pasti juga tidak akan bertandang kerumah karena pandemi. “Baik, Bu. Terimakasih.” Sahut Alisya sembari menerima pemberian Bu Parti. “Ayo, Mbak. Tidak usah sungkan, dirumah Cuman ada saya sama bapak aja kok. Anak-anak paling juga gak pulang”  jelas Ibu Parti meyakinkan Alisya. Alisyapun mengangguk dan mengikuti Bu Parti kerumahnya.

Alisya melirik keseluruh sisi jalan dan beberapa rumah warga. Semua tampak sepi dan pintu tampak tertutup. Rumah Bu Parti pun pintunya tidak dibuka lebar. Alisya bertanya pada Mbak Wina tetangga kamarnya. “Sepi ya Mbak Win?”. Mbak Win menatap Alisya dan mengatakan “Iyalah, Lis. Kamu kan tahu sendiri kalau berjabat tangan aja gaboleh, apalagi sampai sejarah kerumah-rumah, jelas gak boleh jugalah”. “Eeehhmm… Iya, sih…” kalimat Alisya terpotong oleh suara Bu Parti yang mempersilahkannya dan Mbak Win masuk. Disana nampak sudah ada Lia, Mbak Iza dan Mbak Kurnia.

“Tadi, buru-buru banget Win pulangmu? Kamu juga Sya kenapa gak sholat Ied? Halangan?” Mbak Kurnia menyambut mereka dengan pertanyaan. “Iya, Mbak. Gaenak sama warga kan bukan orang asli sini, lagian tadi juga gaboleh jabat tangan yasudah aku langsung pulang aja hehehe..” sahut Mbak Win menjelaskan. “Aku gak halangan Mbak sebenernya, tadi sama kayak Mbak Win gaenak sama warga kan bukan orang asli sini, aku kira tadi kalian gak ke Masjid juga akhirnya aku gak berangkat. Habisnya, aku gak denger suara siapa-siapa tadi, sepi banget akhirnya aku Cuma di kamar aja.” Alisaya juga menyahuti pertanyan Mbak Kurnia sembari tersenyum.

“Heleh.. Gapapa lagian kita kos disini juga nggak sehari dua hari kan?” Jelas Mbak Kurnia. “Iya kalian ini udah tahunan disini masih ngerasa orang lain aja.” Sahut Bu Parti yang ternyata mendengar percakapan mereka tadi. Mereka tersenyum dan serempak mengatakan “Iya bu”.

Kemudian, untuk membendung rasa penasarannya Alisya pun bertanya kepada Bu Parti, “Bu, Kok hari pertama sudah ada ketupat?”. Bu Parti tersenyum, kemudian menjawab pertanyaan Alisya “Oh iya, ini tahun pertama Mbak Alisya Lebaran di sini ya? Iya Mbak Alisya, kalo disini Hari Raya pertama langsung buat ketupat. Adatnya memang begitu setiap tahunnya, yah walaupun ibu tahu kalau mungkin ini gak akan ada yang bertandang kerumah tahun ini.” “Ooohh gitu ya bu, soalnya kalau di rumah saya kan Lebaran 7 Hari Baru ada ketupat bu, hehehe” Ujar Alisya. “Ya emang setiap daerah kan beda-beda Mbak Alis.” Ujar Lia menyahut. “Ehmm… iya juga ya.” Ucap Alisya memahami sembari mengambil minuman yang dibawa Bu Parti dari arah dapur untuk disuguhkan kepada teman-temannya. “Ayo sambil dimakan” Ucap Bu Parti mempersilahkan.

Bu Parti bergabung dengan semuanya, kemudian suasana menjadi lebih hangat. Mereka bercengkrama dengan menceritakan pengalaman pribadi masing-masing, bersenda gurau, dan mnceritakan adat lebaran di daerahnya masing-masing. Percakapannya begitu seru hingga tanpa terasa waktu sudah berlalu begitu cepat dan terdengar suara adzan Dzuhur.

Mereka yang terkejut pun terdiam untuk beberapa detik. Sampai pada akhirnya Mbak Iza membuka pembicaraan dengan suara kalemnya yang khas. “Emmm saya pamit ke kamar dulu ya bu, sudah dzuhur soalnya. Tadi saya lupa belum mengabari siapapun, saya juga gak bawa hape.” Kalimat Mbak Iza membuat semua saling menatap, karena teringat mereka juga belum mengabari siapapun yang berada di rumah dan tidak ada satupun dari mereka yang membawa ponselnya. Akhirnya mereka semua pun ikut berpamitan pada Bu Parti. Bu Parti pun mengizinkan dan mereka semua langsung menuju kamar masing-masing yang berada diseberang jalan dari rumah Bu Parti.

Saat masuk kamar Alisya bergegas melihat ponselnya. Ada 12 panggilan tak terjawab dari keluarganya. Iapun melihat Whatsappnya dan melihat 7 panggilan tak terjawab dari ibunya. Ia segera mengirim pesan kepada semua keluarga, menyampaikan permohonan maafnya dan menjelaskan apa yang sudah terjadi sebenarnya.

Tak lama kemudian ibunya melakukan panggilan video. Ia pun mengangkat panggilan tersebut. Terlihat suara Ibu yang cukup tinggi tampak cukup khawatir. “Ya tadi kenapa kok hape nya gak dibawa to Lis?”. Alisya kembali menjelaskan kejadiannya, namun Ibunya masih mengomel dan mengatakan, “Lain kali dibawa kemana-mana hapenya, gini semuanya nyariin. Suasananya kayak gini, semuanya khawatir dipkir kamu kenapa-napa. Apalagi lebaran kayak gini”. “Iya, Buk. Lisya minta maaf ya” ujar Alisya kembali meminta maaf.

Kemudian percakapan beralih kepada cerita ibu yang menceritakan bahwa dirumah masih banyak tamu meskipun pandemi. Tak aneh menurut Alisya, karena Ibunya tinggal di desa jadi menurutnya orang di desanya tak begitu menghiraukan tentang larangan dari pemerintah terkait hal ini. namun, Alisya yang tak ingin orang tuanya kenapa-napa mengatakan kepada ibunya bahwa “Ibu, mbok ya mematuhi aturan pemerintah, rumahnya gausah dibuka aja kenapa to buk?”. “Ya Ibuk gaenak sama tamunya to Lis, Masa ada tamu ditolak? Udah gapapa tenang aja, doakan aja Ibu, Bapak Masmu sama adik-adikmu dirumah engga kenapa-napa” Jawab Ibu Alisya menanggapi kalimat Alisya. “Oh ya, tadi Bude kerumah nanyain kamu, trus ya ibuk bilang kalau kamu ndak bisa pulang” Ujar Ibu Alisya melanjutkan kalimatnya.

“Yahh… syukurnya Alisya gak ketemu Bude atau yang lain buk. Kalo engga pasti kayak tahun-tahun sebelumnya ditanya-tanyai kapan nikah? Udah naik pangkat belum? Naik gaji belum? Trus disbanding-bandingin sama Mas Arga, Mbak Risda, Mas Ian atau yang lainnya” Ujar Alisya sembari tersenyum menandakan kelegaan di dalam batinnya. “oalah… Lis, gausah di ambil hati, anggep aja itu kalimat Bude sama yang lain sebagai penyemangat buat kamu, biar kedepannya bisa lebih baik lagi.” Ujar Ibu menenangkan Alisya. Kalimat ibu membuat Alisya berhenti tersenyum.

“Lagi pula seenak-enaknya kamu disana apa gak enak tetep lebaran di rumah to Lis? Gak kangen kamu sama Ibuk sama Bapak?” Alisya semakin menunduk mendengar kalimat yang di lontarkan ibunya. Belum sempat menjawab, terdengar dari kejauhan suara bapak memanggil Ibunya karena ada tamu. “Yaudah nduk, nanti ibu lanjut. Ada Pak Prio sama keluarganya berkunjung.” Ujar ibunya sembari menutup teleponnya dengan Alisya.

Alisya tak banyak bicara setelahnya. Dia masih memikirkan kalimat Ibunya sembari mengingat kejadian tahun lalu. “Brook…” Suara pintu tertutup dengan kerasnya mengagetkan seisi rumah. “Kenapa to Lis, ngagetin aja.” Ujar Ibu yang mengetahui bahwa Alisya lah yeng menimbulkan suara tersebut. Kemudian Alisya keluar kamar lagi dan menghampiri ibunya, “Kesel aku buk sama Bude. Pasti yang bangga-banggain anak-anaknya lagi. Mana pasti tba-tiba sok nanya pekerjaanku gimana, yang ujung-ujungnya kayak ngerendahin gitu” Ujarnya kesal dan terlihat raut mukanya di tekuk dalam.

Ibu Alisya hanya tersenyum melihat kelakuan anaknya itu dan mengatakan, “Hoalah Lis.. Lis… gitu aja kok baper kamu ini. wong y awes gede, gausah dipikirin kalimat Bude atau siapapun yang kaya gitu.”. “Ya tapi tetep aja kesel aku buk, kayak pekerjaanku rendah aja. Namanya juga baru mulai ngerintis karir yaw ajar kan kalo gaji ku belum sebesar Mas Arga. Yaa.. kalo sama Mbak Risda atau Mas Ian Cuma kalah beruntung aja aku.” Jawab Alisya terus memanyunkan bibirnya. “Udah.. udah… kayak anak kecil aja kamu ini. dari pada manyun sini bantuin ibuk baut ketupat.” Ucap Ibu mengalihkan perhatian Alisya.

Alisya pun membantu Ibunya membuat lipatan ketupat. Setelah selesai membuat ketupat mereka melanjutkan dengan memasak sayur untuk mendampingi ketupat nantinya saat disantap. Alisya memang selalu bersemangat saat membantu ibunya memasak, karena itulah masakannya juga enak dan tak jauh berbeda dengan rasa masakan ibunya.

“Eeehmmm enak ini nantinya pasti, bapak cium baunyanya aja udah ngiler aja ini.” ujar bapak sembari mendekat ke sumber bau. Alisya tersenyum malu melihat tingkah Bapaknya, “Alah… bisa-bisanya Bapak aja paling.” Ucapnya menanggapi. “Loh Bapak gak bohong kan buk ya?” Ujar Bapak yang terus menggoda.

Ibu yang memperhatikan hanya tersenyum. Tiba-tiba Alisya yang menyadari apa yang dikenakan bapaknya berucap, “Wiihh… liat tuh bapak buk, dari kemaren pakai baju itu aja.” Giliran Bapak yang tersenyum malu “Ya gimana lagi, katamu bapak ganteng pake baju ini? Lagian yang beliin anak Bapak yang paling cantik masak gak dipake kan sayang”. Alisya tertawa mendengar perkataan Bapaknya itu. Tiba-tiba dari belakang Mas Rizal menyahut “Iya, giliran Alisya aja dipuji terus itu.”. Ibu yang mendengar perkataan Rizal menyahutinya “Tuh pak, giliran masnya yang protes. Sarungnya jangan lupa dipake.” Ujar ibuk menggoda Mas Rizal. “Masa gak sholat juga dipake Zal?” Sahut bapak dengan nada yang tak kalah menggoda. Alisya tertawa puas melihat kakaknya di bully Bapak dan Ibunya.

Rizal hanya tersenyum sembari mendekat dan tiba-tiba menjitak kepala adiknya, “Jangan ketawa aja kamu, Lis. Tuh sayurnya udah mateng liat!”. “Bukkk.. Liat tuh Mas Rizal main tangan” Ucap Alisya merengek. Meski sudah beranjak dewasa mereka masih suka bertengkar seperti anak kecil. Maka dari itu Bapak sama Ibuk yang melihat itu hanya tersenyum sembari menyebut nama Mas Rizal “Zaaalll” Mas Rizal giliran tertawa melihat adegan barusan.

“Assalamu’alaikum…” terdengar Suara Dion memasuki rumah. “Dari mana aja sih yon?” Tanya Mas Rizal yang sedari pagi belum melihat Dion adik keduanya. “Dari rumah guru-guru Masss….” Jawab Dion berlalu meninggalkan Kakaknya yang mendekat. Mas Rizal yang melihat itu hanya menghela napas sembari menggelengkan kepalanya ringan. “Risky mana yon? Kok gak bareng kamu pulangnya?” Tanya Bapak yang menyadari Dion pulang sendiri sedangkan tadi pagi ia berpamitan bersamaan dengan adiknya. “Risky mampir rumah temennya pak. Lagian tadi pas dijalan gak barengan, aku disuruh anterin kerumah temennya. Dia bareng Ipan katanya. Lagian kan sekolahnya beda, ya masa aku ajak Risky kerumah guruku pak?” Sahut Dion menanggapi.

“oalah… yaudah ayo makan dulu, Ibukmu sama Mbakmu udah masakin ketupat sama sayurnya tuh” Ujar Bapak memahami dan mengajak Dion makan bersama. Merekapun makan sekeluarga tanpa Risky. “Mbak Alis” Tiba-tiba lamunan Alisya terpecahkan oleh suara Lia dan ketukan pintunya. Alisya yang mendengar suara itu beranjak dari tempatnya dan membuka pintu kamarnya. “Mbak Lis, aku mau pinjem… eh Mbak Alis kenapa kok nangis?” Perhatian Lia teralihkan tatkala melihat air mata yang masih tersisa di pelupuk matanya yang juga sedikit sembab. Alisya bergegas membereskan matanya kembali sembari mengatakan “Engga Li, gak papa aku habis nonton drama” Bohong Alisya sembari melempar senyum agar Lia semakin percaya pada kalimatnya barusan.

Lia pun percaya, karena Lia memang tahu kebiasaan dari Alisya adalah nonton Film atau drama di waktu luang. Selain itu Lia juga sama seperti Alisya yang juga gemar nonton drama sampai nangis atau terbawa suasana di dalam scene drama yang ia tonton. “Oalah… kirain kenapa Mbak hehehe” Ujar Lia tenang “Oiya aku mau pinjem sumpit mbak, tadi aku pesen Mie pedes gaada sumpitnya kayaknya abangnya lupa deh” Lanjut Lia. “Oke, ambil aja di rak Li.” Ujar Alisya mempersilahkan Lia masuk. “Ini ya mbak, tak bawa dulu” Ujar Lia menunjukkan sumpit yang ia bawa sembari melangkahkan kakinya keluar kamar Alisya. Alisya hanya mengangguk sambil tersenyum.

Tiba-tiba Lia kembali melongok kedalam kamar Alisya, yang membuat Alisya cukup kaget lagi, Lia yang melihat itu tersenyum sambil berucap “hehehe Mbak Alis gak mau mienya, ayok makan bareng dikamarku” ajak Lia. “engga deh Li makan aja” Jawab Alisya sembari menceperkan mulutnya, karena ia tahu Lia hanya menggoda karena Lia tahu kalau selera pedasnya dengan Alisya sangatlah berbeda. Apa yang dianggap Lia pedas sedang saja bagi Alisya adalah 10 kali lipat dari pedas menurutnya. Lia tersenyum nakal dan kini benar-benar melangkah pergi ke kamarnya.

Setelah memastikan Lia benar-benar pergi, Alisya menutup pintu kamarnya dan beranjak ke kamar mandi untuk mandi. Seusai mandi ia melihat ponselnya kembali dan ia melihat bahwa kakaknya membuat story whatsapp. Didalam story tersebut keluarganya sedang berfoto bersama dengan caption “Sayangnya si Cantik gak pulang ya :D” Alisya kembali menangis karena ia tahu yang dimaksud oleh kakaknya adalah dia. Disaat itulah ia sadar, bahwa sangat tidak menyenangkan jika Lebaran seperti saat ini harus jauh dari keluarganya. Meskipun ia harus mendengar kalimat-kalimat yang menurutnya kurang menyenangkan dari keluarga besarnya yang gemar membanding-bandingkan dirinya dengan anggota keluarga yang lain, namun ia tersadar bahwa itu adalah salah satu bentuk uforia dari momen lebaran saja.

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan